Saturday 28 April 2012


“Kusimpan rindu di hati
Gelisah tak menentu,
Berawal dari kita bertemu
Kau tak kan kulupa”

Sayup-sayup kudengar...

Angkot hijau Kalapa-Dago melaju membelah jalanan Dago dengan sedikit terhalang jalanan siang ini. Tengok kiri kanan hanya kulihat mobil berhenti. Kaca mereka gelap tak terlihat apakah mereka tersenyum atau kepanasan sepertiku juga. Sepertinya mereka tidak, karena hembusan AC pasti segar membelai perjalanan mereka di bumi yang kian panas ini.
Bandung, Kota dataran tinggi yang dilingkupi sebuah cekungan besar gunung-gunung diantaranya membuat kota ini harusnya dingin. Namun Bandung kini mulai panas dengan asap kendaraan deru besi jalanan.
Lampu memerah untuk kedua kalinya dalam jalanan yang sama dan sudah biasa jika dalam satu perjalanan aku bisa menempuh 2 kali lampu merah. Seperti biasa kini dalam sudut angkot, tempat favoritku mengamati jalanan.

“Ku ingin engkau mengerti
Betapa kau kucinta
Hanya padamu, kubersumpah
Kau akan ku jaga sampai mati”

Suara cadel nan lirih membelah keramaian....

Di sela kantukku ternyata memang terdengar sebuah lagu berdendang dengan frekuensi kecil.  Suara lirih itu berasal dari bocah kecil tak lebih dari dua tahun usianya. Pipinya memerah terbakar panas siang ini. Wajahnya terlalu lucu untuk bernyanyi di jalanan siang-siang. Keceriaan dan semangatnya yang hilang ataukah memang hak-haknya tertelan debu jalanan? Apakah pula senyumnya kian pudar dalam tempias hujan April ini?
“Ku ingin tahu siapa namamu, dan ku ingin tahu dimana rumahmu
Walau sampai akhir hayat ini,”
Entahlah, mataku menuju padanya, bocah kecil itu. Ia menunggu di sudut pintu dengan tanpa gairah kanak-kanak. Tinggi tubuhnya bahkan tak dapat mencapai ketinggian angkot ini seolah dia memang tidak dapat mencapai realita dalam hidupnya yang diberikan. Tanpa bisa bergerak dan menyiapkan ‘uang jajannya’, sekedar receh lima ratusan atau seribuan aku hanya terdiam, termangu dan berpikir. Dalam hati aku tak mengerti mengapa bocah sekecil dan selucu itu menggembala diantara roda jalanan kota kembang. Dengan sebuah lagu yang aku yakin bahkan dia tidak mengerti artinya.

“Jalan hidup kita berbeda
Aku hanyalah punk rock jalanan
Yang tak punya harta berlimpah untuk dirimu sayang”

Sumber : sentanaonline.com/public/images/news/gallery/0103112013.jpg


-----
Memang jalan hidup kita berbeda ngger[1]. Ketika aku kecil setidaknya aku bermain di lapangan yang luas dengan bola sepak dan anak laki-laki yang berkejaran. Tidak dengan jalanan yang ramai, sempit, berdebu, dan mobil motor yang berebutan. Tapi apakah keceriaan masa kecil kita berbeda? Apakah senyum masa kecil kita berbeda? Apakah gelak tawa jalanan dan lapangan berbeda? Apakah realita telah mengubah gemerlap sebuah kota menjadi kesedihan bagi sang bocah?
Gadis kecil itu pergi dengan tanpa sepeserpun receh di gelas bekas air mineralnya. Wajahnya tidak muram, tidak pula senang. Kulihat penumpang yang lain sedikit tak acuh akan kehadiran anak kecil itu. Begitu pula aku yang tertegun melihatnya, melewatkan memberi sepeser uang untuk membelikannya es di siang-siang.
Gadis itu pasti tidak tahu apa arti lagu yang ia nyanyikan. Bahkan apalah sebuah kata ‘arti’ pasti dia pun tidak mengerti. Realitanya kini jutaan anak Indonesia telah sama persis seperti gadis kecil ini. Menyayikan sebuah lagu yang bahkan mereka tak mengerti isinya. Ironisnya lagu-lagu yang mereka dengar tidak pantas untuk dinyanyikan anak kecil. Dari yang bertema percintaan, sarkasme, hingga bertema dewasa yang menyinggung sedikit ke pornoaksi.

Anak-anak itu dipaksa pada realita bahwa mereka bukan orang berada dan mereka harus sedikit berusaha. Lagu adalah hal termudah yang bisa digunakan sebagai cara mencari uang. Dan karena lagu bukankah mereka pula tumbuh berkembang?

Bagiku sendiri sebuah lagu akan mensuasanakan hati bagi si penyanyi itu sendiri. Saat kau mendengar lagu Bunda pasti kau akan merasa kangen pada ibumu kan dan teringat bagaimana ia merawat kita dari kecil hingga besar. Lagu juga sebagai motivasi, seperti sekarang ini banyak bermunculan lagu patah hati dan tema galau lah yang paling sering mendera jutaan muda-mudi zaman sekarang. Sebagai contoh lagu Punk Rock jalanan yang dinyanyikan bocah kecil tersebut, lagunya bertema sedih dan seperti nerimo ing pandum[2] terhadap realita kehidupannya. Sehingga perkembangan mental si anak pun bisa jadi akan menerima kehidupan dengan apa adanya. Ironisnya apa adanya mereka tidaklah jauh berputar dalam hidup jalanan urban. “Mau dibawa kemana” seperti lagu Armada. Mau dibawa kemana nasib anak Indonesia apabila mereka dibesarkan dengan kidung[3] dan cerita jalanan yang lingkarannya berputar dalam satu jalanan yang sama yang dilalui mereka setiap hari.  

Anak-anak merupakan masa tumbuh kembang paling ideal dengan tunas-tunas yang sangat reaktif terhadap segala perubahan. Akankah anak-anak sekarang sudah mendengar keluh kesah pesimisme kehidupan dunia yang akan dengan mudah melukai pikiran-pikiran polos mereka. Baik anak jalanan maupun anak di seluruh pelosok Indonesia mereka pantas mendapat pendidikan lewat lagu yang mereka bawakan. Sehingga optimisme perubahan sebagai pupuk kedewasaan melekat karena tampuk kepemimpinan nantinya akan ada pada generasi muda seperti halnya mereka.

Percayalah dalam nada ada cerita, percaya juga dalam kepolosan mereka akan ada Einstein-Einstein muda, J



[1] Panggilan untuk anak-anak (jawa)
[2] Menerima apa adanya
[3] lagu


Bandung, 28 April 2012

Categories:

0 Opini:

Post a Comment

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology