Monday 7 October 2013

ROTI

Posted by Sosiana Dwi On 1:02 am
Roti yang ini bukan nama makanan. Roti ini juga bukan juga nama orang. Roti adalah nama Anjing  berwarna hitam yang sering berseliweran di daerah kawasan FSRD dan depan kantin Bang Ed. Aku tak tahu asal muasal Roti diberi nama Roti dan kenapa Roti dipanggil Roti. Seringnya ia tengah tiduran males-malesan di depan selasar kantin Bang Ed. Jika kalian adalah anak tenggara atau anak seni rupa pasti tahu Roti seperti apa.

Awalnya aku takut pada Roti, itu terjadi saat aku TPB. Saat melewati kantin Bang Ed dan menemukan ada anjing aku langsung buru-buru menyingkir . Pertama takut najis, kedua takut diikutin, dan memang dalam islam tidak boleh memegang Anjing karena najisnya.

Tapi ketika aku masuk ke jurusan Arsitektur, interaksiku dengan Roti kian bertambah. Karena mau tak mau akan setiap hari aku bisa bertemu dengan Roti. Ketakutanku akan anjing sedikit demi sedikit hilang. Karena Roti adalah tipe anjing yang yang tahu jika mau didekati dan tidak. Roti  tahu aku tidak mau didekati dan disentuh maka Roti tak pernah mendekatiku. Namun bagi orang yang memang ingin menyentuhnya ia selalu tahu dan tak segan bermanja-manja dengannya. Roti tak pernah menggonggong di siang hari saat jam kerja. Roti tak pernah mengganggu siapapun di kawasan kampus kalau aku lihat. Roti makan dari apa yang diberikan padanya. Roti anjing baik. Roti anjing yang malas karena seringnya ia hanya tiduran di kawasan itu-itu saja. Roti punya pacar. Namanya Morin. Morin memang jodohnya Roti.

Suatu kali kami dikejutkan dengan hamilnya Roti dengan bapak entah anjing yang mana. Karena banyak anjing liar pula di ITB. Yang membuatku tahu kalau Roti adalah anjing betina karena sebelumnya aku tahunya Roti jantan. Roti hamil dan makin malaslah dia. Suatu kali Roti melahirkan. Roti melahirkan di selasar Arsi. Aku masih ingat Roti melahirkan saat ada acara prodi bulan Juli. Tanggal 12 Juli 2013, kalau tidak salah 9 anak Roti keluar. Bayi anjing yang lucu. Kalau tak tahu aturan agama mungkin aku akan mengadopsi satu. 9 bayi Roti itu  diadopsi oleh beberapa anak Seni Rupa.

Hari ini aku dikejutkan oleh berita duka. Selengkapnya bisa dilihat di surat ini https://twitter.com/leiilucene/status/386448572821954561/photo/1

Mungkin yang ingin tahu ceritanya bisa baca linimasa dari @farhanoid, @amayorita dan @leiilucene

Dan ada pula klarifikasi mengenai berita yang tidak mengenakan tadi di https://m.facebook.com/notes/happy-mayorita-aviani/klarifikasi/10151710332901094?refid=18.

Roti, selalu ada di kenangan banyak orang yang pernah bertemu dengan Roti. Entah itu bagaimana ia selalu menyambutmu ketika pagi hari dengan ekor yang selalu berkibas. Bagaimana ketika dia tiduran di karpet yang berada di depan pintu masuk. Maupun kenangan ketika dia mengharapkan makanan dari kita.

Dulu aku sering bercakap-cakap dengan Fitri.
"Fit, kalau di Jepang ada Hachiko di ITB ada Roti yah ,Fit. Kalau dia nggak ada mungkin banyak orang kehilangan. Bakal banyak yang nangis kayak di film Hachiko. Dan mungkin bakal difilmin juga."

Dan hari itu pun terjadi. Ketika Roti sudah tidak ada lagi. Saat aku menuliskan ini pun aku menangis tersedu seperti sedang menonton film sedih. 

Roti yang tertidur
Foto diambil dari dokumentasi Belly Munandar


Selamat tinggal Roti :')
Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia

A New World

Posted by Sosiana Dwi On 12:11 am
Halo selamat malam malam :)

Mari aku klasifikasi beberapa hal. Masalah kurikulum baru 2013 yang pernah aku keluhkan sebelumnya.

Ya, semula aku menyangka aku hanya seseorang yang terus menerus mengeluh di terpa badai cobaan. Menjadi orang yang reaktif terhadap hal kecil yang mati, yaitu kurikulum, yang mau dan tak mau memang harus dirasakan. Ternyata aku tak sendiri, hal mengenai beratnya tiga studio sekarang ini dirasakan juga oleh teman seangkatanku yang lain. Bahkan oleh adik 2012ku, tapi bagi mereka studio hanya segelintir hal baru yang tak bisa dibandingkan. Tak olehku dan kawan seangkatanku. Bahkan kami pernah mengadakan forum angkatan semata membahas kurikulum ini. Hal ini terkait minggu hell-yeah kemarin. Dimana ada tiga pengumpulan beruntun pada tiga studio. Sudah pernah aku jelaskan bagaimana hecticnya sebuah kata pengumpulan di studio arsitektur itu di link ini.

Senin revisi tapak, selasa laporan konstruksi kayu lanjut, dan kamisnya adalah pengumpulan studio perancangan 5 sks. Tercatat minggu itu jam tidurku berubah, terlihat dari saat aku menulis postingan ini pukul 01.30 dan aku sama sekali tidak mengantuk, gara-gara sebelumnya aku tidur terlebih dahulu. Anehnya saat menjelang subuh aku ngantuk lagi dan tidur. Bedanya hari ini aku bisa tidur lebih dari satu jam, hehe. Kemarin Rabu malam aku pernah seperti orang sekarat hanya tidur satu jam. Aku tidak merasa ngantuk tapi ya Allah mata rasanya perih, dan jadi sering bego sesaat alias ngeblank alias ngeskip. Hari itu aku sudah beberapa kali ngelamun di lift, dua kali salah pencet lift, sekali ketinggalan kartu di ATM, gak denger pas dipanggil, untungnya ngga sampai ngeblank di jalan karena hal ini pernah aku alami sebelumnya, untungnya ada teman yang nyadarin sebelum terjadi hal buruk. Aku kurang tidur tapi kalo tidur itu berarti aku membuat dosa besar.

Itulah kehidupan calon arsitek dan mungkin nantinya ketika menjadi arsitek. Unhealthy life. Sering kali aku berpikir bahwa aku kurang cocok kerja di bagian seperti ini karena aku tak bisa survive dengan tidur yang hanya 3 jam setiap hari. Seminimal mungkin 5 jam lah. Kadang pengen juga minjem tubuh vampire di Twilight kalau enggak ya pinjem jamnya Hermione buat ngebalik-balikin waktu. Oh andaikan. Dan juga kecepatan mengerjakan tugas tanganku masih payah. Untuk membuat denah saja perlu satu malam lebih. Serius! Buat dapetin hasil yang perfect itu lama.

Yah, but I'm not alone guys. Semua merasakan hal yang sama. Nggak semua sih ada beberapa orang yang tidak reaktif terhadap keadaan ini. Mereka sangat proaktif atau memang mereka bisa adaptasi dengan mudah ya?
Entah, yang pasti aku butuh waktu untuk adaptasi.

Dan kini aku dan beberapa anak yang lain jadi manusia yang STUPUL-STUPUL alias Studio-pulang studio-pulang. Duniaku hanya ada pada dua kawasan itu yang lain-lain hanya jembatannya saja tapi tetap tujuannya itu. Studio sebagai tempat kerja dan terkadang tempat berteduh dan menginap, kosan hanya tempat tidur dan mandi. Bahkan ada yang setiap hari mandinya di kampus lho. Banyak hal yang kulewatkan seperti halnya tugasku membuat artikel terkait Ruby Rudianto yang maaf tak bisa kuselesaikan karena waktu dan juga partner yang sama-sama sedang sangat sibuk pengumpulan.  Melewatkan hidup di tengah kemahasiswaan kampus.

Eits, tapi blog bukan tempat untuk berkeluh dan menyampaikan informasi yang buruk. Di sisi adaptasi yang sulit itu tadi banyak juga sisi positifnya sih. Dibalik tiga studio yang bertabrakan itu ada ilmu yang kudapat lebih. Misalnya nih konstruksi, dulu saat tingkat dua aku hanya jadi seorang pasif mempelajari ilmu struktur tapi dengan basis studio sekarang aku mempelajari ilmu ini dengan aktif, seolah aku subjek ilmu itu. Satu yang kurang, kurang workshop, belajar bahan, sambungan dan lain-lain lewat 2D itu sangat-sangat tidak bisa dibayangkan. Tidak bisa menyentuh detail materialnya maupun melihatnya secara nyata. Tapak juga, seru juga mendesain di tempat yang berkontur dan mesti memperhatikan banyak aspek, jadi sadar kalau sebelumnya desain-desainku suka banyak yang ngacho. Haha.

Kesenangan tersendiri juga saat nginep di studio. Bagaimana saat disaat jenuh dengan gambar kita selingi dengan bergosip ngomongin artis, cerita tak jelas atau malah nyanyi bareng tanpa koordinir. Ada pula budaya baru nginep di studio, makan odading dan cakue Tubagus. Sedikit info itu makanan Cuma buka ja 2 malam sampai jam 4 subuh dan selalu habis dan ramai sekali pembelinya dan ENAK dan MURAH:D. Jam segitu memang jam bego dan butuh asupan energi. Thanks untukk mas Oge sang Santa Odading!
Haha

Bosan dengan curhatanku yang basi, mari kita nyanyi dulu yaaa .. New World nya Nadiya Fatira. Ini lagu jadi OST-nya Perahu Kertas dan gonna be my OST, soon. Hha

These days are gonna be those days

Which I'll look back with a happy smile

And a twinkle in my eyes
And life will never be the same
A different life than the one we’ve had
From our simple  fun, fairytales

It's strange, it's a new, new world
It's loud, it's a hectic world
And I miss my home, I miss myself
And I miss you
And yet, I finally found that love
Inside my soul
And I jump in joy and I sing my heart away

atau denger lagunya di sini http://www.youtube.com/watch?v=OoJbCHA6IXQ

Sip I Miss my self, ketika sering main ke Kabinet. And also miss my home in Boulevard and also in my unit UKA, apalagi pas nari-nari yang sering banget salah. Haha. I miss you my friend, di luar arsi tentunya. Bosen ketemu anak arsi mulu, hehe :3

Dan kini aku menyanyi , syalalala. Aku tahu aku telah memilih hidup ini maka aku harus tahu konsekuensinya. Sekarang aku yakin baru adaptasi yang bikin shock, segera aku akan menjadi aku yang dulu lagi. Sip sip.


Sekian curhatan malam ini, selamat tidur. 

Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia

Saturday 5 October 2013

Aku, Dua Tuna Netra dan Pria Bertato

Posted by Sosiana Dwi On 12:13 am
Sore ini aku berniat ke Pasar Baru untuk membeli barang yang tak kutemukan di Balubur Town Square (Baltos).Karena aku tak tahu angkot dari depan Baltos yang bisa langsung ke Pasar Baru aku memutuskan naik Dago-Stasion dari jalan Dago saja. Aku berjalan dari Jalan Tamansari, menyusuri Annex ITB yang tepat dibawah jalan Layang Pasupati ke arah jalan Dago. Trotoar di sekitar situ bersih dan lumayan nyaman namun sangat jarang orang melintasinya. Entah kenapa, mungin bising kali ya di bawah jalan layang.

Saat tengah sendiri berjalan di trotoar itu aku melihat ada dua orang sedang berjalan bergendengan. Deskripsinya seperti ini, orang pertama yang menggendong tas (seperti tas gitar atau mungkin raket, aku lupa) memegang tongkat dan menggunakannya untuk berjalan. Dari situ aku tahu mas-mas tersebut adalah seorang tuna netra. Sedangkan pria yang dibelakangnya mengikuti pria di depannya dengan memegang bahunya. Awalnya aku tak menyadari pria dibelakang itu adalah tuna netra juga, aku kira malah dia adalah penuntun dari mas pembawa tongkat namun saat aku sudah cukup dekat dengan aku baru tahu keduanya adalah tuna netra.

Aku dan kedua mas itu berjalan dengan arah yang sama yaitu ke arah Dago dan aku berada tepat di belakang mereka. Aku menyaksikan bagaimana susahnya mereka menentukan mana bagian jalan yang bisa mereka pijak dan mana yang tidak. Ironisnya trotoar di daerah itu tak memiliki sistem grid untuk penyandang tuna netra. Di sisi kanan trotoar berbatasan langsung dengan selokan dengan dalam sekitar 50-70 cm dan lebar sekitar satu meter dan sisi kananya adalah vegetasi rumput-rumputan. Perbatasan antara selokan dan trotoar menjadi tanda mereka berjalan, sayangnya pula di trotoar yang menghadap langsung ke rumah saluran gotnya tertutup dan saat itulah mas-mas tadi mulai kebingungan akan patron mereka. Saat bertemu dengan selokan mereka hampir terjatuh. Hal ini terjadi hampir tiga kali diperjalanan mereka, tiga kali hampir jatuh di selokan sedalam itu tentu tidak lucu. Perjalanan sepuluh meter bagi mereka terasa panjang bagiku. Mereka perlahan berjalan.

Lalu di tengah jalan di aku melihat ada tiga pria bertato, bertindik dan terlihat seram sedang duduk di trotoar, di sebelah sepeda motor mereka. Ketiga keempat kali dua pria tuna netra ini hampir jatuh ke selokan salah satu dari pria bertato di kaki kanannya, dengan tindik di kuping itu menghampiri dengan cepat. Dia bertanya akan kemana mereka berdua dan dengan segera menuntun dengan cepat. Menghindari selokan dan bahaya.

Aku terksiap.

Dimana aku?
Aku tepat di belakang mereka, tidak berusaha mendahului mereka. 
Apa yang aku lakukan?
Aku mengamati. Aku berpikir banyak mengenai kejadian ini. Bagaimana fasilitas umum banyak yang tidak memfasilitasi publik secara keseluruhan. Artinya masih ada pihak yang tidak terfasilitasi, ya contohnya penyandang difable ini. Pikirku berjalan sebagai seorang observer. Aku memang tidak mencoba mendahului namun aku tidak serta merta menolong kedua orang ini seperti yang dilakukan oleh pria bertato tadi. Langsung. Aku berniat aku akan membantu jikalau kedua orang ini sudah hampir di ambang batas dan hampir jatuh. Tapi lihat pria bertato tadi, dia membantunya tanpa berpikir tentang bla bla masalah fasilitas ataupun difabilitas. Dia membantu atas dasar kemanusiaan sebagai manusia. Membantu  tak mengenal kasta ataupun siapa dirinya.

Saat itu aku hampir menangis. Menangis karena begitu bodoh, lebih bodoh dari orang yang aku anggap bodoh.

Saat itu pula ada satu pelajaran yang aku petik. Tindakan yang aku lakukan ini begitu merefleksikan kehidupan kemahasiswaan kampus yang terkadang penuh wacana akan niat. Niat yang sangat baik dan ambisius, tentang sesuatu yang besar. Tapi sayang wacana hanya sekedar wacana. Tanpa aksi ia hanya jadi abstraksi di proposal saja. Lihat aku tadi, asumsikan aku sebagai seorang yang pewacana dan pemikir karena sebagai seorang mahasiswa dan dua orang tuna netra adalah masalah. Aku berpikir tentang sesuatu yang besar tentang fasilitas, kebijakan, bla bla lainnya. Aku baru akan bergerak jika masalah sudah menjadi masalah yang besar. Asumsikan pula pria bertato tadi adalah sesorang yang melihat masalah sebagai masalah yang harus diselesaikan tanpa tendensi apa-apa. Dan dialah solusi penyelesaian masalah yang cepat tanpa berlarut-larut dan menimbulkan masalah yang besar.
Itulah masalah besar mahasiswa, menjadi pewacana, pengkaji, problem solver tanpa melakukan aksi yang selaras dengan pemikirannya. Contoh lain, banyak mahasiswa berkoar tentang gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan lain sebagainya. Mereka merumuskan, berpikir untuk sesuatu yang bisa menyelamatkan bumi dari Efek Rumah Kaca tapi lihatlah apakah mereka ke kampus dengan public transportation? Seberapa banyak yang membawa mobil? Oke maaf yang contoh belakang tadi asal bikin, bukan untuk siapa-siapa. Ilustrasinya seperti itu. Jika kamu mau menolong orang, jangan pikirkan siapa kamu, jurusan apa dirimu mau Tambang kek, Arsitektur kek, Matematika kek, Dokter kek bahkan seorang preman pun sangat diperbolehkan menolong sesama. Menolong itu asalnya dari hati, bukan dari organisasi, CSR  maupun institusi. Disiplin ilmu hanya nilai lebih kita sebagai mahasiswa, tapi dasar manusia ya tetap sebagai manusia.

Menjadi pengkaji sekaligus pengaksi.

Di ujung jalan itu, ketika sampai di jalan Dago yang ramai itu pria bertato itu mengantarkan kedua orang penyandang tuna netra tadi. Dia pun memberi tahu jalan dan mengucapkan hati-hati kepada keduanya. Tameng pria bertato pada dirinya hilang sudah.

Sore yang lengang itu aku tertohok sedikit oleh cerita kehidupan. Ternyata banyak ilmu yang aku pelajari jika aku berada di luar kelas dan studio. Cerita kehidupan sehari-hari.


Bandung, 5 Oktober 2013

Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia
  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology