Friday 17 February 2012

Jalan-jalan Media #2

Posted by Sosiana Dwi On 2:01 am
Udah engga sabar untuk membaca Jalan-Jalan Media yang kedua? Oke..
Saya akan lanjutkan hasil pengepoanku di KOMPAS!! Dengan sisa-sisa tenaga yang kami punya kami langkahkan juga kaki ke Kompas cetak yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kompas TV. Hanya saja panas ibukota membuat badan menjadi jetlag (kata yang over lebay). Ternyata kami sudah termasuk terlambat tidak sesuai perjanjian awal dimana pukul 13.00 seharusnya kami sudah ada di Kompas cetak namun karena satu dan lain hal kami harus menerlambatkan diri. Selama itu kami ditunggu oleh pihak Kompas yang mungkin punya beragam pekerjaan lain yang ada tenggat waktunya dibandingkan menunggu kami mahasiswa ngaretan. :l

KOMPAS cetak
Sesampainya di sana kami diantar ke ruang pertemuan yang nyaman. Merasa tersanjung juga diperlakukan sangat baik walaupun kami molor lama. Diawali dengan penyuguhan video sejarah dari Kompas.

Didirikan pada 28 Juni 1965 awalnya Kompas diberi nama Bentara Rakyat lalu atas usulan presiden Soekarno maka diganti menjadi Kompas yang berarti penunjuk jalan bagi orang dan menjadi amanat hati nurani rakyat. Awal berdirinya dipimpin oleh Pemimpin Umum P.K Ojong dan Pemimpin Redaksi Jakob Oetama. Hingga saat ini mash dipimpin oleh Jakob Oetama. Dahulu saat masih sederhana Kompas hanya berisi 40 halaman dengan oplah 4800 eksemplar. Saat ini Kompas adalah satu-satunya media cetak yang lolos di ABC (audit bureau of circulation) dan saat ini telah memiliki 214 wartawan. Untuk sejarah yang lebih lengkap bisa dilihat di sejarah KOMPAS.

Selanjutnya diisi dengan sesi tanya jawab yang lebih menitikberatkan bagaimana memunculkan kiprah media kampus di ITB sendiri dengan sifat anak ITB yang sudah sedemikian tidak mau tahu atau bisa dibilang agak malas membaca informasi dari surat kabar atau majalah. Agus Her salah satu pembicara yang sudah agak tua namun sangat mengerti kondisi mahasiswa zaman sekarang banyak meberi masukan tersendiri. Ketika diutarakan kendala-kendala yang terjadi di unit media Ganesha memang menurutnya sudah tidak sesuai lagi dengan minat pasar saat ini. Sebagai contoh konten majalah kampus ini terlalu berat dan "mikir" padahal mungkin pada masa sekarang mahasiswanya tidak seperti masa orde baru yang tidak semudah sekarang mendapat informasi. Banyak saran dan masukan untuk merevisi bentukan dari majalah kampus yang dari 12000 mahasiswa hanya berani membuat oplah 1000. Itu pun tidak selalu laku semua padahal masa pengerjaannya cukup lama yaitu 4 bulan sekali dan itu pun hanya menghasilkan 40 halaman.
"Saya yakin model majalah kalian seperti majalah departemen," tutur pak Agus Her agak menyindir.
Sejujurnya dalam hati aku ingin bilang "Eta pisan,"


Penambahan rubrik baru yang fresh untuk kalangan mahasiswa masa kini bisa menjadi jalan keluar. Mode, gaya hidup atau apa pun itu bentuknya. Dalam setiap penyajian tidak hanya berita penting yang ditampilkan namun jugan berita menarik. Kecenderungan manusia yang dibaca paling awal adalah rubrik yang menarik perhatiannya entah itu olahraga atau pun nama dan peristiwa. Untuk itulah harus ada yang berubah. Kompas sebagai media cetak terkemuka pun pernah mengalami perubahan yang melenceng dari sejarahnya sendiri. Kompas dengan muka berwarna dan isu-isu enetrtainment adalah salah satu gebrakan besar yang sempat memberikan kontra bagi pembacanya. Namun begitulah Kompas melalui perubahan selera pasar. Tentu gebrakan itu tidak secara asal-asalan dilakukan melainkan melalui pertimbangan panjang dan survei/angket. Ya, survei itu sangat penting fungsinya itu menilai selera orang dari masa ke masa.

Sekarang pilihannya adalah Anda mau bertahan atau mau berubah? Alternative berubah banyak yaitu pemberian quis dan bonus hadiah, ilustrasi yang lebih indah dengan layout yang bukan seperti majalah kaku, jangan terlalu lama keluarnya karena kontinyuitas juga sangat berpengaruh terhadap selera, sebenarnya masih banyak lagi yang lainnya tinggal dipilih mana yang terbaik dan sesuai kebutuhan.
"Pilihlah, mau menjadi Majalah departemen atau menjadi majalah semua elemen masyarakat?"tantang pak Agus Her.

Selanjutnya kami diajak berkeliling di redaksi dimana ruang itu dibuat luas dan tak bersekat agar arus informasi dapat tersampai tanpa penghalang. Menarik melihat proses pembuatan layout dengan aplikasi GN3 dimana hanya Kompas yang punya itu. Pembuatan berita dan pengumpulan berita dari koresponden Kompas di seluruh Indonesia dan melihat proses penambahan foto yang ternyata bukan murni dari kompas melainkan berlangganan dengan suatu badan. Sangat jarang mereka memuat foto dari amatir namun kalau pun iya satu foto dihargai Rp 1.500.000,00 dan itu sama dengan bisa membayar kosan beberapa bulan. Wew..

Aku sempat bertanya dengan salah satu pemilih foto hari itu, "Pak, di Kompas sendiri ada standarisasi sensor foto engga? Soalnya saya pernah liat ada foto yang terbuka auratnya,"
"Tentu adalah, sini saya cariin contoh," lalu pria yang duduk di belakang layar itu pun mencari foto yang ia maksud. Beberapa folder yang ia cari tidak ketemu lalu kami pergi meninggalkan dia untuk ke tempat lain. Ketika sedang mengobrol dengan bagian lain tiba-tiba mas-mas yang di belakang layar itu datang dan menyerahkan foto yang tadi ia maksud. Aku sangat kagum sekaligus terkejut dengan sikapnya. Yang membuat aku terkejut lagi adalah sikap Kompas terhadap aurat wanita. Jadi di foto aslinya yang ia berikan ada seorang negro sedang loncat ke atas dengan dada terlihat menonjol. Seperti yang saya pernah lihat di majalah lain biasanya foto itu disensor dengan di beri bayang-bayang buram yang bagi aku sendiri hal itu malah melecehkan wanita karena memperjelas bagian apa itu yang disensor. Sedangkan Kompas ia mengedit fotonya sehingga terlihat bajunya dinaikan dan menutupi bagian itu. Awesome.
"Kalau foto Pangeran Williams dan Kate Middleton ciuman itu pernah dijadikan cover Kompas kan, Pak? Emang itu tidak apa-apa?"
"Itu sempat menuai protes si tapi kita kan pertimbangannya itu adalah ciuman suami isteri jadi bukan hal yang tabu dan patut di sensor kalau menurut saya,"
Waah, aku puas akan jawabannya.

Dengan berakhirnya pertanyaannku tadi maka berakhirlah kisah Jalan-jalan Media ke Kompas TV tahun ini. Semoga tahun depan aku bisa ikut lagi dan memperoleh banyak ilmu yang sangat bermanfaat itu tadi.
:)


Categories: ,

0 Opini:

Post a Comment

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology