Wednesday, 30 November 2011

Senandung Suara Seruling Simpang Dago

Posted by Sosiana Dwi On 11:17 pm
Hari itu terik. Walaupun aku tahu seterik-teriknya Bandung tak akan lebih terik dari Purbalingga. Namun terik kali itu menyengat, ditambah lagi pertigaan simpang Dago adalah sumber kemacetan yang makin menyengatkan hari itu. Seperti biasa aku pulang dengan naik angkot. Sebenarrnya naik angkot adalah keterpaksaanku karena seharusnya aku bisa menaiki sepedaku kalau saja sepedaku tidak "dirampas dan aku (mungkin) tidak ceroboh.

Kembali ke angkot Kalapa - Dago yang berwarna hijau itu, aku duduk di belakang supir dekat dengan pintu masuk sekalgus keluar. Terik ini tak membuat pengamen di jalanan Ir. Juanda atau Dago ini pantang mendendangkan lagu-lagunya. Tak seperti biasa kali ini pemain seruling pun ikut mencari peruntungan. Hal yang baru pernah aku temui selama aku naik angkot Kalapa Dago ini. Alunan seruling ini merdu membuat mata ngantuk juga. Bapak peniup seruling itu adalah orang yang cukup renta usianya. Aku taksir umurnya sekitar 50an tahun. Namun aku tak ingin membayarnya karena teringat kondisi dompetku yang sedang cekak di akhir bulan.



Penumpang di depanku tepatnya yang duduk di sebelah pintu kanan masuk jika dilihat dari luar adalah seorang wanita muda berjilbab pink. Dia satu angkot dengan beberapa teman-temannya. Aku tak begitu paham apa dia anak ITB juga atau bukan namun jika dilihat dari gaya berbusananya dia adalah orang yang cukup modis. Karena Blackberry adalah salah satu gadgetnya.

Seruling tetap berdendang. Mataku sedang mengamati kemacetan dan tidak menyadari kalau wanita tadi yang sedang kuceritakan ternyata menutup telinganya. Aku sempat heran, begitu pula teman-temannya. Seakan tahu pertanyaan dari kami-kami ini dia berkata, "Kata hadits Rasullullah kalau dengar suara seruling kita harus menutup kuping, itu gunanya baca-baca hadits,".

Aku tersentak. Lebih karena aku baru pernah mendengar hadits seperti itu dan karena wanita itu berbicara dekat dengan mulut angkot. Dekat dengan pintu angkot berarti dekat dengan bapak peniup seruling itu. Entah dia paham atau tidak suaranya akan terdengar ke bapak itu.

Setelah perkataan dari wanita itu bapak itu menengadahkan uang dalam bekas aqua gelas lalu langsung beranjak pergi. Iya. Dia langsung beranjak padahal tak satupun dari kami sempat merogoh uang. Wanita tadi ternyata akan memberi uang namun tak sempat karena bapak itu telah ngloyor saja.
"Yah, gimana si Bapak. Padahal mau ngasih uang," ujarnya. 

Aku mengira pasti bapak itu merasa sakit hati dengan perkataan wanita tadi. Iyalah, aku juga merasa tersinggung padahal bukan aku objek penderita itu. Kalau aku jadi bapak itu tadi aku akan merasa sakit hati yang amat sangat. Salah satu mata pencaharian kita tiba-tiba dijudge sebagai pekerjaan yang dilarang (walaupun secara implisit). Padahal bisa jadi itu adalah keahlian satu-satunya milik si bapak, dan berarti sumber penghidupan si bapak.

Yah, aku kecewa dengan tindakan si wanita tadi. Aku tahu maksud dia baik, aku tahu maksud hati dia adalah berjalan di bawah tuntunan Rosullallah SAW tapi dan tapi bukan begitu caranya. Bukan begitu "menasehatinya" di depan umum dengan nada suara yang keras dan di dengar oleh penumpang lain. Itu akan membuat bapak tadi malu , rendah diri atau apalah itu namanya.

Setelah kejadian itu aku merasa penasaran juga akan kebenaran hadits itu. Aku buka google dan http://filsafat.kompasiana.com/2011/07/19/lagunyanyian-yang-dianggap-haram-oleh-sebagian-pihak/
dari yang aku baca hadits itu masih diperdebatkan dan masuk ke dalam kategori hadits mungkar. Dan hadits mungkar kedudukannya lebih parah dari sekedar hadits dhaif. Dan memang banyak sekali dalil pengharaman musik yang derajat haditsnya bermasalah. Dan wajar bila Abu Bakar Ibnul Al-Arabi mengatakan, “Tidak ada satu pun dalil yang shahih untuk mengharamkan nyanyian.” Dan Ibnu Hazm juga senada. Beliau mengatakan, “Semua riwayat hadits tentang haramnya nyanyian adalah batil.”Begitu kata Kompasiana.

Bagaimana dengan ini Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”. 

Sebenarnya kalau aku boleh memilih lebih baik aku menjaga perkataanku akan tajamnya lidah dan tidak menyakiti siapa pun daripada mempercayai hadits yang masih belum jelas tingkat kepercayaanya. Sama-sama menjalankan ibadah bukan?

:)

#melepas penat setelah bergulat dengan Kalkulus
Categories:

0 Opini:

Post a Comment

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology