Sunday, 16 January 2011

Celengan Ayam

Posted by Sosiana Dwi On 1:24 pm
Aroma pucuk dedaunan yang basah oleh embun adalah parfum favoritku. Kesegarannya membuka rongga dadaku yang terlalu lama mampat oleh polusi kota. Dinginnya hawa memukul kulitku. Ah, tapi aku sudah terbiasa. Munculnya horison jingga melengkung bagai gerbang di ufuk timur menyambutku dengan ramah. Sinar mentari ini pun hangat memanaskan otakku yang sebentar lagi kupakai.
Hamparan hijaunya sawah terbelah oleh sebuah jalan desa yang kini kulalui dengan sepeda tuaku. Sepeda tua yang ada saat mbahku masih ada. Dari kecil hingga kini aku sudah bekerja, dia setia menemani. Walau rodanya sesekali berderit di jalan berlubang. Tapi toh masih kuat menopangku dan beban hidupku.
Sepi hari ini dan hari-hari sebelumnya. Hanya kodok kawin atau cicit burung yang menghasilkan suara. Dahulu aku tak sesepi ini. Ada dia, sahabatku yang kini tak pernah kembali. Denis.
Dulu dia suka bersiul lagu tak jelas. Aku akan nimbrung dengan lagu ciptaan kami sendiri. Walau sumbang kami tertawa dengan ulah kami yang membuat petani memperhatikan sikap kami. Apa daya kami bukan penyanyi. Kami ini hanya manusia desa yang ingin jadi ilmuwan. Dan oleh karenanya jalan ini selau ramai oleh perdebatan kami tentang Teori Relativitas Einstein, Darwin, Pascal, atau remeh-temeh tentang negara.
Yang paling kuingat tentang kenangan kami adalah mimpi kami. Menjadi manusia sukses, suka menolong, dermawan, taat beragama, sederhana dan tak pernah korupsi. Dan kami ingin menjadi ilmuwan. Yang setidaknya membuat penemuan bermanfaat bagi desa kami.
Tak terasa aku telah sampai di kantorku yang sederhana. Jaraknya berada dekat dengan kota. Beberapa pekerja yang tak berseragam masuk. Mereka menyapa aku yang tengah memarkir sepeda tuaku. Aku balas dengan senyuman. Senyum yang tak pernah lagi sempurna. Senyum yang muncul karena tak ada beban derita, kini entah kemana senyum itu.
Aku masih ingat saat itu kami memasuki pelataran kampus yang kami idam-idamkan. Kami akan menyelesaikan jenjang menengah atas dan kami ingin ini tempat kami menimba ilmu. Kampus tua tang banyak mencetak insinyur, dosen, profesor dan ilmuwan, seperti mimpi kami. Senyum yang masih sangat sempurna, merekah di bibir kami. Tapi aku tahu sangat jantung kami berdebar begitu kuat.
“Fahmi, kamu yakin?”tanya Denis menantang. Dia tak pernah benar-benar percaya pada keajaiban.
“Harus yakin! Yang kita punya hanya keyakinan Den.” Kataku tegas.
“Orang pinggiran seperti kita apa bisa? Pakaian kita lusuh.”
“Yah, surga saja pantas buat yang beriman, maka tempat ini juga pantas kan buat orang yang berilmu?” kataku menghibur diri yang sebetulnya sama takutnya dengannya. Akulah yang memotivasinya untuk meraih beasiswa ini.
Di meja pendaftaran kutulis semua yang harus ditulis. Pada bagian kolom jurusan yang ingin kami pilih kami saling tersenyum memandang dan dengan tinta hitam kami tulis besar-besar “FISIKA”.
Dan begitulah kami akhirnya mengerjakan soal ujian masuk. Berusaha mengerjakan apa yang kami bisa. Dan tak lupa berdoa. Hingga akhirnya.....
Aku tersadar aku telah melamun terlalu lama. Masih banyak urusan yang harus segera dikerjakan. Bergegas aku melangkah masuk. Ruang kerjaku sederhana saja. Hanya meja kecil berisi banyak kertas yang masih terserak. Beberapa kliping yang di pigura menghias di dindingnya. Ada yang berjudul “Ketela Pohon Olahan, Meraup Omset Milyaran”. Aku tersenyum membaca artikel pertama yang aku peroleh. Tapi senyum yang kusunggingkan tak pernah benar-benar sempurna lagi. Aku masih belum mendapat kesempurnaan itu lagi setelah yang aku dapatkan kini.
Modal usahaku berawal dari celengan ayam milikku. Keberadaannya hanya aku dan Tuhanku yang tahu. Sejak SD aku rajin mengisinya selesai membantu ibuku mengambili sisa-sisa padi. Padi tersebut adalah padi sisa panen yang bisa dijual kembali dan selebihnya dimasak sendiri. Aku telah memmimpikan kuliah sejak kecil agar orangtuaku bahagia dan adik perempuanku bisa sekolah.
Usahaku meraih mimpi sempat tersendat. Biaya ke kampusnya saja aku tak punya. Terpaksa celengan ayam itu ku rogoh dan kuambil beberapa. Tapi memang uang di dalamnya tak seberapa.
Hanya lesu setelah kegagalanku, iseng kulihat celengan itu lagi. Tapi ternyata uangnya tiba-tiba bertambah. Sepertinya lebih besar dibandingkan uangku sebelumnya. Dan aku tak tahu siapa yang memasukan beberapa uang ratusan ribu itu. Terlebih aku menyimpan celengan itu teramat hati-hati dan sangat rahasia. Tak berani aku bertanya awal mula uang itu kecuali dalam hatiku saja.
Celengan itu sekarang kupajang di meja kantor sederhanaku. Kurawat amat baik. Aku mengisinya senilai uang yang nyasar ke celengan itu. Berharap itu memang bukan hakku dan pada saatnya akan kukembalikan pada yang berhak. Sekaligus aku berterimakasih padanya karena bantuannya aku bisa seperti sekarang ini.
“Maaf Pak, wonten tamu.” Kata pegawaiku membuyarkan masa laluku.
“Sepagi ini?” tanyaku agak tak percaya.
“Saking Bandung. Terose anu anu mboten ngerti. Penting.”jawabnya yang tak pandai menggunakan bahasa Jawa.
“Baiklah,” jawabku. Aku merapikan beberapa berkas yang mungkin akan dibutuhkan. Namun aku tercekat saat kulihatnya berdiri masih dengan gaya yang sama seperti dulu. Rambutnya tetap ikal. Bajunya kini rapi tak lusuh lagi. Sekarang dia memelihara jenggotnya. Aku masih ingat senyum jailnya yang pernah kubenci.
“Apa benar ini kantor Bapak Fahmi?”
--
Sepuluh tahun berlalu mengubah segalanya. Hidup kami, jalan hidup kami, dan kediaman kami sekarang ini. Suara yang kami dengar hanyalah batu jalanan yang terinjak kaki-kaki kami. Berhenti kami pada pohon besar di tengah sawah tempat kami berteduh saat panas terik dulu. Angin sepoi melemaskan kaki kami.
Pearasaanku campur aduk. Setelah sepuluh tahun, aku baru melihat teman terbaikku ini kembali. Denis. Setelah ia berguru sekian lama ia baru kembali.
Aku diam begitu pula dia. Tak tahu darimana harus memulai.
Entah angin apa yang membuatku berani memukulnya. Aku menghantam bahunya, kuhempaskan ke tanah. Kuhajar hingga ada lebam di lengannya. Aku tak hiraukan kalau yang ku hajar ini adalah ilmuwan penting. Aku tak peduli seperti halnya dia tak peduli lagi padaku.
Aku marah? Jelas. Aku ditinggalkan begitu saja setelah pengumuman penerimaan mahasiswa baru itu. Aku gagal dan dia menang. Begitu caranya mengganggapku teman? Mungkin setelah ini aku bakal tersenyum puas.
Dia diam saja sepert tabiatnya. Lalu seberkas senyum menghias bibirnya yang sedikit berdarah. Dia tertawa dan begitu pula aku. Benar aku tertawa begitu puas. Aku tersenyum begitu sempurna.
“Jadi ini yang akan kau berikan padaku saat itu?” tanya Denis.
“Untung kau tidak mencariku saat itu. Aku marah padamu saat itu dan jika kau temui aku, mungkin otakmu yang jenius itu akan sia-sia.” jawabku tertawa.
“Aku ingat saat itu kau selalu mengingatkanku akan hari pengumuman. Dan saat namamu tak ada sedang namaku ada, walau hanya di deret terbawah, kau menghilang. Hingga aku benar-benar harus kuliah disana aku tak pernah menjumpaimu barang sebatang pun. Aku tinggal di rumah pakdheku. Dan tak pernah pulang karena takut dibunuh kau,” dia tertawa sejenak, ”Sekarang aku sudah siap mati olehmu.”jawabnya panjang lebar.
Aku memang kecewa saat itu dan kabur ke tempat yang jauh. Aku tak berani menatap kebahagiaan teman di saat kita gagal. Pengecutnya aku tapi aku juga tak ingin Denis tahu perasaanku. Dan kini aku tersenyum kembali. Senyum yang benar-benar sempurna. Ternyata yang hilang adalah aku dan bagian hidupku yang hilang. Sahabatku.
Fahmi dan Denis. Jalan hidup kita berbeda tapi mimpi kita masih sama. =)
--
Denis
Setelah lama mengumpulkan tenaga aku bisa juga menemuinya. Aku takut benar-benar takut. Aku takut melihat kenyataan pahit yang mungkin menerpanya. Namun dia jauh lebih kuat daripada yang bisa aku duga. Ketidakadilan hidup tak surutkan langkahnya. Aku bangga padanya.
Untung saja aku tahu tempat penyimpanan celengan ayamnya. 

Categories:

0 Opini:

Post a Comment

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology