Sang Penari
Beberapa hari yang lalu sedang booming film Sang Penari besutan sutradara Ifa Ifansyah. Aku sendiri baru tahu kalau Sang Penari adalah film yang didasarkan dari novel terkenal Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) milik sang legendaris Ahmad Tohari. Yang membuat aku tertarik membacanya tak lain dan tak bukan karena sejarah dari AHMAD Tohari yang ternyata adalah orang Banyumas tulen. Sama sepertiku yang lahir dan dibesarkan sampai umur 17 tahun di Purbalingga (yah, meski bukan Banyumas tapi paling tidak satu rumpun, satu bahasa, dan satu karisidenan). Ditambah , disini di kota rantau ini aku merasa menemukan kebahagiaan jikalau menemukan saudara sepertiku, saudara yang bisa berbahasa “ngapak “juga. Jarang kutemukan para ngapakers itu dan dalam buku Ahmad Tohari aku menemukan saudara , seperti kawan lama yang tak pernah kukenal lagi.
Kawan lama. Semasa SMA aku sering melihat buku RDP sebagai pajangan di rak perpustakaan. Tapi pajangan hanya tinggal pajangan karena sedikit dari siswa menyentuh buku itu, padahal dari pihak sekolah menyiapkan buku itu dalam jumlah banyak dengan maksud tertentu juga. Aku salah satu dari siswi yang tega itu. Tak pernah melirik buku itu karena covernya yang tidak menarik. Seorang penari dengan gambar ala Zaman dahulu. Sangat tidak menari buatku di era internet dan komputer ini.
Namun kini berubah. Karena latah kehadiran Sang Penari di layar emas aku mendownload ebooknya. Hanya sekedar ingin membaca ceritanya sebelum menonton filmnya. Biasanya jika sudah begitu aku akan membandingkan antara film dan buku. Dan supaya lebh jelas juga membaca sudut pandang Ahmad Tohari dan sudut pandang Ifa.
Latahku berlanjut menjadi jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada gaya bahasa Ahmad Tohari, aku jatuh cinta pada karakter-karakter yang ia imajikan dalam sebuah frame-frame adegan diskripsi. Dan terutama aku jatuh cinta pada Rasus. Lelaki yang mencintai Srintil, sang ronggeng dengan sepenuh hati bukan karena nafsu semata.
Aku jatuh cinta pada hal yang aku kira akan membosankan. First Impression ternyata tak akan menceritakan segala isi rupa dan warna. Beberapa buku yang kulihat dengan sampul dan kata persuasif yang menaik namun isinya zonk. Hanya sebuah gembar-gembor yang tidak penting. Dan dari sebuah buku dengan cover yang amat tidak menarik ada sebuah cerita sarat makna. RDP, cerita kehidupan fakta masyarakat.
Yah, first impression juga harus diolah menurut hematku. Apabila kau mmebaca buku RDP dengan tanpa menyaring setiap detil kata dan adegan yang ia tuturkan , hmm bukan tidak mungkin kau akan menganggap ini adalah buku yang sarat dengan muatan pornografi dan kekerasan atau istilahnya saru. Tapi ini budaya, menurutku.
Aku jadi teringat guru bahasa Indonesiaku semasa SMA, Ibu Sri Asmani yang sering kita panggil bu As. Beliau yang mengajar pelajaran B.Indo selalu di akhir jam sekolah selalu membuat kami terkesima. Disamping cara mengajarnya enak , komunikatif kami diajak belajar sastra lama dengan sesuatu yang menarik. Mendongeng. Itulah hal yang kami sukai dari beliau. Walau kadang sayup-sayup ceritanya mengalirkan kami ke lelap siang hari namun cerita-cerita itu membekas seperti cerita RDP ini. Membacanya selalu membuatku teringat gaya bercerita Ibu As, teringat beliau teringat cerita-cerita macam Senyum Karyamin, Burung-burung Manyar, dll aku sendiri lupa apa saja ceritanya.
“Lihat segalanya , Lebih dekat. Dan kau akan mengerti”. Sepenggal lagu dari Sherina Munaf menyadarkanku lagi , seharusnya aku belajar lagi dan lagi untuk terus menginvetigasi masalah lebih dekat. Mengingat judging masih melekat padaku dan kehidupanku.
First Impression itu tidak berguna bagi manusia kritis. Akankah aku adalah korban dari kebodohan yang aku buat sendiri?
Semoga saja aku bisa merubahnya.
semoga
Beberapa hari yang lalu sedang booming film Sang Penari besutan sutradara Ifa Ifansyah. Aku sendiri baru tahu kalau Sang Penari adalah film yang didasarkan dari novel terkenal Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) milik sang legendaris Ahmad Tohari. Yang membuat aku tertarik membacanya tak lain dan tak bukan karena sejarah dari AHMAD Tohari yang ternyata adalah orang Banyumas tulen. Sama sepertiku yang lahir dan dibesarkan sampai umur 17 tahun di Purbalingga (yah, meski bukan Banyumas tapi paling tidak satu rumpun, satu bahasa, dan satu karisidenan). Ditambah , disini di kota rantau ini aku merasa menemukan kebahagiaan jikalau menemukan saudara sepertiku, saudara yang bisa berbahasa “ngapak “juga. Jarang kutemukan para ngapakers itu dan dalam buku Ahmad Tohari aku menemukan saudara , seperti kawan lama yang tak pernah kukenal lagi.
Kawan lama. Semasa SMA aku sering melihat buku RDP sebagai pajangan di rak perpustakaan. Tapi pajangan hanya tinggal pajangan karena sedikit dari siswa menyentuh buku itu, padahal dari pihak sekolah menyiapkan buku itu dalam jumlah banyak dengan maksud tertentu juga. Aku salah satu dari siswi yang tega itu. Tak pernah melirik buku itu karena covernya yang tidak menarik. Seorang penari dengan gambar ala Zaman dahulu. Sangat tidak menari buatku di era internet dan komputer ini.
Lihat sampulnya yang jadul ini!!
Latahku berlanjut menjadi jatuh cinta. Aku jatuh cinta pada gaya bahasa Ahmad Tohari, aku jatuh cinta pada karakter-karakter yang ia imajikan dalam sebuah frame-frame adegan diskripsi. Dan terutama aku jatuh cinta pada Rasus. Lelaki yang mencintai Srintil, sang ronggeng dengan sepenuh hati bukan karena nafsu semata.
Aku jatuh cinta pada hal yang aku kira akan membosankan. First Impression ternyata tak akan menceritakan segala isi rupa dan warna. Beberapa buku yang kulihat dengan sampul dan kata persuasif yang menaik namun isinya zonk. Hanya sebuah gembar-gembor yang tidak penting. Dan dari sebuah buku dengan cover yang amat tidak menarik ada sebuah cerita sarat makna. RDP, cerita kehidupan fakta masyarakat.
Yah, first impression juga harus diolah menurut hematku. Apabila kau mmebaca buku RDP dengan tanpa menyaring setiap detil kata dan adegan yang ia tuturkan , hmm bukan tidak mungkin kau akan menganggap ini adalah buku yang sarat dengan muatan pornografi dan kekerasan atau istilahnya saru. Tapi ini budaya, menurutku.
Aku jadi teringat guru bahasa Indonesiaku semasa SMA, Ibu Sri Asmani yang sering kita panggil bu As. Beliau yang mengajar pelajaran B.Indo selalu di akhir jam sekolah selalu membuat kami terkesima. Disamping cara mengajarnya enak , komunikatif kami diajak belajar sastra lama dengan sesuatu yang menarik. Mendongeng. Itulah hal yang kami sukai dari beliau. Walau kadang sayup-sayup ceritanya mengalirkan kami ke lelap siang hari namun cerita-cerita itu membekas seperti cerita RDP ini. Membacanya selalu membuatku teringat gaya bercerita Ibu As, teringat beliau teringat cerita-cerita macam Senyum Karyamin, Burung-burung Manyar, dll aku sendiri lupa apa saja ceritanya.
“Lihat segalanya , Lebih dekat. Dan kau akan mengerti”. Sepenggal lagu dari Sherina Munaf menyadarkanku lagi , seharusnya aku belajar lagi dan lagi untuk terus menginvetigasi masalah lebih dekat. Mengingat judging masih melekat padaku dan kehidupanku.
First Impression itu tidak berguna bagi manusia kritis. Akankah aku adalah korban dari kebodohan yang aku buat sendiri?
Semoga saja aku bisa merubahnya.
semoga
Categories: experience
turnuwun wis mampir...maning ...
ReplyDeletehttp://rupakampung.blogspot.com/2011/11/menyimak-video-pembelajaran-seni-rupa.html
sami-sami.
ReplyDeletematur nuwun juga wis tau mampir blogku :)