Saturday 5 October 2013

Aku, Dua Tuna Netra dan Pria Bertato

Posted by Sosiana Dwi On 12:13 am
Sore ini aku berniat ke Pasar Baru untuk membeli barang yang tak kutemukan di Balubur Town Square (Baltos).Karena aku tak tahu angkot dari depan Baltos yang bisa langsung ke Pasar Baru aku memutuskan naik Dago-Stasion dari jalan Dago saja. Aku berjalan dari Jalan Tamansari, menyusuri Annex ITB yang tepat dibawah jalan Layang Pasupati ke arah jalan Dago. Trotoar di sekitar situ bersih dan lumayan nyaman namun sangat jarang orang melintasinya. Entah kenapa, mungin bising kali ya di bawah jalan layang.

Saat tengah sendiri berjalan di trotoar itu aku melihat ada dua orang sedang berjalan bergendengan. Deskripsinya seperti ini, orang pertama yang menggendong tas (seperti tas gitar atau mungkin raket, aku lupa) memegang tongkat dan menggunakannya untuk berjalan. Dari situ aku tahu mas-mas tersebut adalah seorang tuna netra. Sedangkan pria yang dibelakangnya mengikuti pria di depannya dengan memegang bahunya. Awalnya aku tak menyadari pria dibelakang itu adalah tuna netra juga, aku kira malah dia adalah penuntun dari mas pembawa tongkat namun saat aku sudah cukup dekat dengan aku baru tahu keduanya adalah tuna netra.

Aku dan kedua mas itu berjalan dengan arah yang sama yaitu ke arah Dago dan aku berada tepat di belakang mereka. Aku menyaksikan bagaimana susahnya mereka menentukan mana bagian jalan yang bisa mereka pijak dan mana yang tidak. Ironisnya trotoar di daerah itu tak memiliki sistem grid untuk penyandang tuna netra. Di sisi kanan trotoar berbatasan langsung dengan selokan dengan dalam sekitar 50-70 cm dan lebar sekitar satu meter dan sisi kananya adalah vegetasi rumput-rumputan. Perbatasan antara selokan dan trotoar menjadi tanda mereka berjalan, sayangnya pula di trotoar yang menghadap langsung ke rumah saluran gotnya tertutup dan saat itulah mas-mas tadi mulai kebingungan akan patron mereka. Saat bertemu dengan selokan mereka hampir terjatuh. Hal ini terjadi hampir tiga kali diperjalanan mereka, tiga kali hampir jatuh di selokan sedalam itu tentu tidak lucu. Perjalanan sepuluh meter bagi mereka terasa panjang bagiku. Mereka perlahan berjalan.

Lalu di tengah jalan di aku melihat ada tiga pria bertato, bertindik dan terlihat seram sedang duduk di trotoar, di sebelah sepeda motor mereka. Ketiga keempat kali dua pria tuna netra ini hampir jatuh ke selokan salah satu dari pria bertato di kaki kanannya, dengan tindik di kuping itu menghampiri dengan cepat. Dia bertanya akan kemana mereka berdua dan dengan segera menuntun dengan cepat. Menghindari selokan dan bahaya.

Aku terksiap.

Dimana aku?
Aku tepat di belakang mereka, tidak berusaha mendahului mereka. 
Apa yang aku lakukan?
Aku mengamati. Aku berpikir banyak mengenai kejadian ini. Bagaimana fasilitas umum banyak yang tidak memfasilitasi publik secara keseluruhan. Artinya masih ada pihak yang tidak terfasilitasi, ya contohnya penyandang difable ini. Pikirku berjalan sebagai seorang observer. Aku memang tidak mencoba mendahului namun aku tidak serta merta menolong kedua orang ini seperti yang dilakukan oleh pria bertato tadi. Langsung. Aku berniat aku akan membantu jikalau kedua orang ini sudah hampir di ambang batas dan hampir jatuh. Tapi lihat pria bertato tadi, dia membantunya tanpa berpikir tentang bla bla masalah fasilitas ataupun difabilitas. Dia membantu atas dasar kemanusiaan sebagai manusia. Membantu  tak mengenal kasta ataupun siapa dirinya.

Saat itu aku hampir menangis. Menangis karena begitu bodoh, lebih bodoh dari orang yang aku anggap bodoh.

Saat itu pula ada satu pelajaran yang aku petik. Tindakan yang aku lakukan ini begitu merefleksikan kehidupan kemahasiswaan kampus yang terkadang penuh wacana akan niat. Niat yang sangat baik dan ambisius, tentang sesuatu yang besar. Tapi sayang wacana hanya sekedar wacana. Tanpa aksi ia hanya jadi abstraksi di proposal saja. Lihat aku tadi, asumsikan aku sebagai seorang yang pewacana dan pemikir karena sebagai seorang mahasiswa dan dua orang tuna netra adalah masalah. Aku berpikir tentang sesuatu yang besar tentang fasilitas, kebijakan, bla bla lainnya. Aku baru akan bergerak jika masalah sudah menjadi masalah yang besar. Asumsikan pula pria bertato tadi adalah sesorang yang melihat masalah sebagai masalah yang harus diselesaikan tanpa tendensi apa-apa. Dan dialah solusi penyelesaian masalah yang cepat tanpa berlarut-larut dan menimbulkan masalah yang besar.
Itulah masalah besar mahasiswa, menjadi pewacana, pengkaji, problem solver tanpa melakukan aksi yang selaras dengan pemikirannya. Contoh lain, banyak mahasiswa berkoar tentang gaya hidup hijau yang ramah lingkungan dan lain sebagainya. Mereka merumuskan, berpikir untuk sesuatu yang bisa menyelamatkan bumi dari Efek Rumah Kaca tapi lihatlah apakah mereka ke kampus dengan public transportation? Seberapa banyak yang membawa mobil? Oke maaf yang contoh belakang tadi asal bikin, bukan untuk siapa-siapa. Ilustrasinya seperti itu. Jika kamu mau menolong orang, jangan pikirkan siapa kamu, jurusan apa dirimu mau Tambang kek, Arsitektur kek, Matematika kek, Dokter kek bahkan seorang preman pun sangat diperbolehkan menolong sesama. Menolong itu asalnya dari hati, bukan dari organisasi, CSR  maupun institusi. Disiplin ilmu hanya nilai lebih kita sebagai mahasiswa, tapi dasar manusia ya tetap sebagai manusia.

Menjadi pengkaji sekaligus pengaksi.

Di ujung jalan itu, ketika sampai di jalan Dago yang ramai itu pria bertato itu mengantarkan kedua orang penyandang tuna netra tadi. Dia pun memberi tahu jalan dan mengucapkan hati-hati kepada keduanya. Tameng pria bertato pada dirinya hilang sudah.

Sore yang lengang itu aku tertohok sedikit oleh cerita kehidupan. Ternyata banyak ilmu yang aku pelajari jika aku berada di luar kelas dan studio. Cerita kehidupan sehari-hari.


Bandung, 5 Oktober 2013

Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia

2 comments:

  1. Pagi yang sejuk, nemu refleksi tentang kehidupan. Menohok mahasiswa. #antiwacana

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sip makasih,kalo banyak jalan2 banyak nemu pelajaran juga

      Delete

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology