Bandung
Rabu,20 Maret 2013
Malam di studio gambar lantai 4, Gedung Arsitektur IX B ITB kembali memunculkan kehidupannya. Beberapa malam yang lalu hanya tumpukan maket berdebu dan kegelapan yang tinggal di ruang ini. Namun berkat sidang kedua bagi para TA-ers inilah suara cutter beradu dengan cutting mat atau blender yang berbunyi menyakitkan dari para busa yang tengah dicincang kembali terdengar. Mereka adalah para maketor dari angkatan 2011 yang sedang membantu mahasiswa tingkat akhir (TA) menyelesaikan maketnya untuk sidang di hari Jumat ini. Kami kembali mengejar deadline. Pekerjaan menjadi maketor pernah aku ulas sebelumnya.
Tak beda jauh dengan aku dan Fitri Sekar Asih yang bergabung dalam satu tim maketor. Sudah sejam lebih dalam cahaya lampu neon kami memotong karton. Pop mie sudah habis segelas, dan mulutku pun sudah berbusa nyanyi-nyanyi tidak jelas. Dasar aku yang memang cerewet kubuka percakapan dengan cerita-cerita yang ngalor ngidul ngetan ngulon. Dari cerita saat kelas 3, cerita konyol yang semakin menambah daftar cerita foolish story -ku, sampai akhirnya cerita saat-saat aku magang di TU.
Aku pernah magang di Tata Usaha (TU) SMA selepas pengumuman kelulusan diumumkan. Saat LULUS adalah penantian panjang kita bisa keluar dari SMA namun disitu pula awal kegamangan seorang Sosiana akan masa depannya. Belum ada satu pun universitas yang aku dapatkan. Baik itu swasta hanya untuk sekedar cadangan maupun negeri via SNMPTN undangan yang gagal kuraih.
Akan kemanakah lulusan SMA ini? Ketika biaya adalah persoalan ia menimang mau kemana nantinya.
Akhirnya untuk sementara magang di TU SMA sembari menunggu ujian tulis. Sebelumnya aku dan beberapa temanku sudah mendaftar, yang aku ingat sebelum kelulusan diumumkan. Persyaratannya mudah saja, tanpa perlu seleksi berlebihan. Hanya modal mau saja magang dengan biaya "ongkos" jalan yang tak seberapa. Aku pun mau dengan beberapa temanku lain. Aku Endar, Alip, Nurul, Ilham, Wiji, Ginanjar. Dalam maganger itu ada pula Sutrisno yang biasa di panggil Inno namun ia tak sempat melanjutkan pekerjaan karena keburu keterima di SBM ITB dan perlu ikut materikulasi.
Pekerjaan kami simple sebenarnya, tanpa butuh ketrampilan khusus. Hanya perlu ketrampilan mendengarkan dan menjalankan dengan baik pekerjaan yang disuruh tersebut. Menulis ulang nilai UN angkatan kami di buku induk (sehingga kami tahu semua nilai teman-teman kami semua), menempel foto, membantu legalisasi Ijazah, memfotocopy, stempel-stempel, bersih-bersih, kadang online, ngeprint adalah beberapa list pekerjaan kami. Sangat tentatif pekerjaan kami sebenarnya. Pekerjaan ini pula membuat kami terkadang bertatap dengan teman-teman seangkatan yang kadang sedang mengurusi legalisasi untuk keperluan universitasnya.
Perasaanku sedih tentunya, lagi-lagi teringat aku belum keterima di mana pun. Apalagi jika diberi pertanyaan semacam ini,
"Lho Sos kamu disini? Keterima di mana sekarang?"
Rasanya cukup nyesek. Apa itu nyesek? Yaitu jleb banget di hati dan tidak tahu mau menjawab apa. Ironis.
Tapi bekerja magang lumayan mengasah ketrampilan, mengisi waktu walaupun seharusnya lebih baik diisi dengan bimbingan SNMPTN. Ada kerjaan alih-alih di cap pengangguran. Pagi berangkat jam 2-an pulang.
"Emang digaji berapa Sos?" tanya Fitri ketika aku tengah bercerita.
"Dua puluh lima ribu seminggu Fit" jawabku santai. Namun tidak serta merta ditanggapi santai oleh teman-teman yang ternyata mendengarkan percakapan absurdku dengan Fitri.
"Apa? Maneh di gaji berapa seminggu?" tanya Feisal tampak tak percaya.
"Dua puluh lima ribu. Lebih kayaknya, aku lupa. Itu udah kepotong pajak lho,"
Feisal dan si Alien dari planet Andromada si Mada land pun takjub tak percaya. Lalu ditertawakanlah aku. Aku masih bingung ada apa dengan sikap yang mereka berikan dengan pernyataanku tadi.
"Emang kenapa?" tanyaku masih bingung.
"Maneh tau nggak buat aing dua puluh lima ribu itu abis dalam sehari."kata Feisal nyinyir
"Aku sekali ngelesin anak SD aja dapet 40.000 Sos. Masa seminggu cuma dapet dua puluh lima ribu? Dibohongin itu sama sekolah maneh." Mada land menimpali."Dua puluh lima ribu mah abis Cuma transport kali,"
"Itu kan harga jaman dulu. Wajar kali segitu," jawabku membela diri.
"Heh Sos! SMA kamu sama SMA aku tuh beda berapa tahun sih? Temenku aja ngelesin sebulan dapet sejuta. SMA-nya duluan aku kan?" Zunaiza yang lebih akrab dipanggil bu haji pun ikut-ikutan mencemooh.
"Sos, aku nyebar kuisoner aja dapat berapa belas gitu satu kuisoner,"Aku menoleh ke Fitri dan aku tak dapat meminta bantuan pembelaan darinya karena 25.000 di Bandung itu hanya bernilai kecil apalagi untuk sebuah gaji seminggu.
Tiba-tiba aku tersadar ternyata aku memang dibohongi atau mungkin malah dibodohi. Atau pilihan ketiga apakah aku begitu tulusnya. Aku tak pernah menyalahkan orang yang telah menggajiku karena memang sistemnya bukan upah seperti yang aku ungkap diatas. Sistemnya adalah aku mendapat ilmu, pekerjaan daripada nganggur dan pengalaman. Ternyata aku menyadari bukan uang yang benar-benar aku harapkan dari pekerjaan ini karena benar kata Feisal, Mada Land, Bu Haji atau tatapan Fitri bahwa uang yang aku dapat pun tak seberapa dibanding pandangan mereka dengan uang 25ribu itu.
Aku hanya menyadari itu. Serendah itu ternyata.
Aku sudah lupa perasaanku pada saat itu karena sudah sekitar dua tahunan, jaman-jaman masih rada alay pula. Aku tak begitu ingat. Apakah aku dulu terlalu lugu, atau memang harga 25ribu di kotaku masih terlalu tinggi untuk ukuran anak baru lulus SMA aku sudah lupa. Yang aku ingat sekarang ini aku tak menyesal dulu mendapat harga serendah itu menurut teman-temanku. Aku tak menyesal dihargai sebegitu rendah waktu itu. Aku tak menyesal perasaan bangga dapat gaji waktu itu ternyata hanya berupa nominal kecil bagi beberapa diantaranya. Aku tak menyesal sama sekali.
Setelah sekian lama aku dikatakan 'dibodohi' oleh sebagian teman-temanku itu ,aku tak menyesal!
Aku justru menyesal apabila aku tak pernah magang di sekolahku dulu. Karena tidak akan ada cerita mengenai hal ini yang akan tertulis di blog ini. Tidak akan pernah ada pula cerita yang orang katakan perjuangan untuk masuk kuliah. Tidak akan ada uang 300ribu di kantong hasil keringat sendiri selama sekitar 3 bulan bekerja yang telah sangat membantuku hidup di Bandung awal-awal. Tidak akan semangat yang membara karena merasa nyesek disindir teman-teman, semangat yang mengantarkanku meskipun tidak ikutan bimbel SNMPTN tapi alhamdulilah bisa meloloskanku ke kampus gajah. Tidak akan ada cerita kedekatan kami para magangers yang merasa satu penderitaan dan perjuangan mencari kuliah bersama. Tidak ada nama-nama pegawai TU yang pada akhirnya aku kenal satu-satu dengan baik. Tidak ada suguhan teh setiap pagi dan kopi susu khusus di hari Jumat. Tidak ada pula kesempatan mengkepo database nilai-nilai siswa (:P).
Aku utarakan ini pada kawan-kawanku yang menertawakanku dengan sedikit bercanda, "Suatu hari nanti kalau aku jadi orang sukses aku akan menceritakan bahwa aku pernah digaji dua puluh lima ribu untuk bekerja selama seminggu. Bakal jadi epik kan nantinya?" Hehehe.
Dan tentunya tidak akan ada cerita menginspirasi untuk anak cucuku nanti.
Semoga menginspirasi!
Categories: experience, refleksi diri
0 Opini:
Post a Comment
Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)