Sore ini aku berniat
ke Pasar Baru untuk membeli barang yang tak kutemukan di Balubur Town Square (Baltos).Karena aku tak tahu angkot dari depan Baltos
yang bisa langsung ke Pasar Baru aku memutuskan naik Dago-Stasion dari jalan
Dago saja. Aku berjalan dari Jalan Tamansari, menyusuri Annex ITB yang tepat
dibawah jalan Layang Pasupati ke arah jalan Dago. Trotoar di sekitar situ
bersih dan lumayan nyaman namun sangat jarang orang melintasinya. Entah kenapa,
mungin bising kali ya di bawah jalan layang.
Saat tengah sendiri
berjalan di trotoar itu aku melihat ada dua orang sedang berjalan bergendengan.
Deskripsinya seperti ini, orang pertama yang menggendong tas (seperti tas gitar
atau mungkin raket, aku lupa) memegang tongkat dan menggunakannya untuk berjalan.
Dari situ aku tahu mas-mas tersebut adalah seorang tuna netra. Sedangkan pria
yang dibelakangnya mengikuti pria di depannya dengan memegang bahunya. Awalnya
aku tak menyadari pria dibelakang itu adalah tuna netra juga, aku kira malah
dia adalah penuntun dari mas pembawa tongkat namun saat aku sudah cukup dekat
dengan aku baru tahu keduanya adalah tuna netra.
Aku dan kedua mas
itu berjalan dengan arah yang sama yaitu ke arah Dago dan aku berada tepat di
belakang mereka. Aku menyaksikan bagaimana susahnya mereka menentukan mana
bagian jalan yang bisa mereka pijak dan mana yang tidak. Ironisnya trotoar di
daerah itu tak memiliki sistem grid untuk penyandang tuna netra. Di sisi kanan
trotoar berbatasan langsung dengan selokan dengan dalam sekitar 50-70 cm dan
lebar sekitar satu meter dan sisi kananya adalah vegetasi rumput-rumputan.
Perbatasan antara selokan dan trotoar menjadi tanda mereka berjalan, sayangnya
pula di trotoar yang menghadap langsung ke rumah saluran gotnya tertutup dan
saat itulah mas-mas tadi mulai kebingungan akan patron mereka. Saat bertemu
dengan selokan mereka hampir terjatuh. Hal ini terjadi hampir tiga kali
diperjalanan mereka, tiga kali hampir jatuh di selokan sedalam itu tentu tidak
lucu. Perjalanan sepuluh meter bagi mereka terasa panjang bagiku. Mereka
perlahan berjalan.
Lalu di tengah jalan
di aku melihat ada tiga pria bertato, bertindik dan terlihat seram sedang duduk
di trotoar, di sebelah sepeda motor mereka. Ketiga keempat kali dua pria tuna
netra ini hampir jatuh ke selokan salah satu dari pria bertato di kaki kanannya,
dengan tindik di kuping itu menghampiri dengan cepat. Dia bertanya akan kemana
mereka berdua dan dengan segera menuntun dengan cepat. Menghindari selokan dan
bahaya.
Aku terksiap.
Dimana aku?
Aku tepat di
belakang mereka, tidak berusaha mendahului mereka.
Apa yang aku
lakukan?
Aku mengamati. Aku
berpikir banyak mengenai kejadian ini. Bagaimana fasilitas umum banyak yang
tidak memfasilitasi publik secara keseluruhan. Artinya masih ada pihak yang
tidak terfasilitasi, ya contohnya penyandang difable ini. Pikirku berjalan
sebagai seorang observer. Aku memang tidak mencoba mendahului namun aku tidak
serta merta menolong kedua orang ini seperti yang dilakukan oleh pria bertato
tadi. Langsung. Aku berniat aku akan membantu jikalau kedua orang ini sudah hampir di ambang batas dan hampir
jatuh. Tapi lihat pria bertato tadi, dia membantunya tanpa berpikir
tentang bla bla masalah fasilitas ataupun difabilitas. Dia membantu atas dasar
kemanusiaan sebagai manusia. Membantu
tak mengenal kasta ataupun siapa dirinya.
Saat itu aku hampir
menangis. Menangis karena begitu bodoh, lebih bodoh dari orang yang aku anggap
bodoh.
Saat itu pula ada
satu pelajaran yang aku petik. Tindakan yang aku lakukan ini begitu
merefleksikan kehidupan kemahasiswaan kampus yang terkadang penuh wacana akan
niat. Niat yang sangat baik dan ambisius, tentang sesuatu yang besar. Tapi
sayang wacana hanya sekedar wacana. Tanpa aksi ia hanya jadi abstraksi di
proposal saja. Lihat aku tadi, asumsikan aku sebagai seorang yang pewacana dan
pemikir karena sebagai seorang mahasiswa dan dua orang tuna netra adalah
masalah. Aku berpikir tentang sesuatu yang besar tentang fasilitas, kebijakan,
bla bla lainnya. Aku baru akan bergerak jika masalah sudah menjadi masalah yang
besar. Asumsikan pula pria bertato tadi adalah sesorang yang melihat masalah
sebagai masalah yang harus diselesaikan tanpa tendensi apa-apa. Dan dialah
solusi penyelesaian masalah yang cepat tanpa berlarut-larut dan menimbulkan
masalah yang besar.
Itulah masalah besar
mahasiswa, menjadi pewacana, pengkaji, problem solver tanpa melakukan aksi yang
selaras dengan pemikirannya. Contoh lain, banyak mahasiswa berkoar tentang gaya
hidup hijau yang ramah lingkungan dan lain sebagainya. Mereka merumuskan,
berpikir untuk sesuatu yang bisa menyelamatkan bumi dari Efek Rumah Kaca tapi
lihatlah apakah mereka ke kampus dengan public transportation? Seberapa banyak
yang membawa mobil? Oke maaf yang contoh belakang tadi asal bikin, bukan untuk
siapa-siapa. Ilustrasinya seperti itu. Jika kamu mau menolong orang, jangan
pikirkan siapa kamu, jurusan apa dirimu mau Tambang kek, Arsitektur kek,
Matematika kek, Dokter kek bahkan seorang preman pun sangat diperbolehkan
menolong sesama. Menolong itu asalnya dari hati, bukan dari organisasi,
CSR maupun institusi. Disiplin ilmu
hanya nilai lebih kita sebagai mahasiswa, tapi dasar manusia ya tetap sebagai
manusia.
Menjadi pengkaji
sekaligus pengaksi.
Di ujung jalan itu,
ketika sampai di jalan Dago yang ramai itu pria bertato itu mengantarkan kedua
orang penyandang tuna netra tadi. Dia pun memberi tahu jalan dan mengucapkan
hati-hati kepada keduanya. Tameng pria bertato pada dirinya hilang sudah.
Sore yang lengang
itu aku tertohok sedikit oleh cerita kehidupan. Ternyata banyak ilmu yang aku
pelajari jika aku berada di luar kelas dan studio. Cerita kehidupan
sehari-hari.
Bandung, 5 Oktober
2013
Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia
Pagi yang sejuk, nemu refleksi tentang kehidupan. Menohok mahasiswa. #antiwacana
ReplyDeleteSip makasih,kalo banyak jalan2 banyak nemu pelajaran juga
Delete