Malam-malam di Bandung merenggut ceritaku di rumah mayaku. Malam yang penuh fanatisme terhadap pengalaman. Aku tahu ini semua bermula dari komitmenku sendiri, sebuah konsekuensi yang harus aku hadapi.
Masa pengalaman adalah masa belajar bagiku yang berarti pada saat inilah aku di kampus dimana masa pengalaman idealismeku mulai muncul.. Pepatah "Pengalaman adalah guru yang terbaik" agaknya menginsepsi kuat di otak. Dari sebuah latar belakang pepatah klise itu banyak keputusan yang aku buat yang membuatku jatuh pada komitemen. Kini aku menyadari beberapa konsekuensi yang aku terima, dari yang bermanfaat hingga yang mudharat. Aku dengan seenak jidat menerima semua pengalaman yang lewat, aku terima, aku iyakan dan aku lupa bahwa banyak sekali kewajiban yang juga belum aku kerjakan. Aku hanya meminta hak demi hak untuk meraih pengalaman. Aku menghancurkan diri sendiri hanya demi sebuah pengalaman. Aku melalaikan kewajiban hanya untuk pengalaman.
Pengalaman yang macam apa yang mampu menjadi guru yang terbaik jika aku saja tidak mampu menempatkan pengalaman-pengalaman yang ada dalam dimensi waktu yang sesuai.
Aku mulai menyadari ketika sebuah pepatah lain mulai meneruskan niat ini. Pepatah ini disampaikan oleh kak Inta, Menteri Komunikasi dan Informasi Kabinet KM ITB yang tidak lain dan tidak bukan atasanku (pepetahnya anonim), begini kira-kira "Jangan selalu berharap organisasi lah yang memberi manfaat buat kita, tapi berpikirlah bahwa kita dapat memberi manfaat kepada organisasi tersebut", simple note tapi cukup menusuk dan tepat kepada niat-niat melencengku.
Iya kini aku sadar tapi aku telah terjerat pda konsekuensi dan aku punya tanggung jawab terhadapnya.
Masa pengalaman adalah masa belajar bagiku yang berarti pada saat inilah aku di kampus dimana masa pengalaman idealismeku mulai muncul.. Pepatah "Pengalaman adalah guru yang terbaik" agaknya menginsepsi kuat di otak. Dari sebuah latar belakang pepatah klise itu banyak keputusan yang aku buat yang membuatku jatuh pada komitemen. Kini aku menyadari beberapa konsekuensi yang aku terima, dari yang bermanfaat hingga yang mudharat. Aku dengan seenak jidat menerima semua pengalaman yang lewat, aku terima, aku iyakan dan aku lupa bahwa banyak sekali kewajiban yang juga belum aku kerjakan. Aku hanya meminta hak demi hak untuk meraih pengalaman. Aku menghancurkan diri sendiri hanya demi sebuah pengalaman. Aku melalaikan kewajiban hanya untuk pengalaman.
Pengalaman yang macam apa yang mampu menjadi guru yang terbaik jika aku saja tidak mampu menempatkan pengalaman-pengalaman yang ada dalam dimensi waktu yang sesuai.
Aku mulai menyadari ketika sebuah pepatah lain mulai meneruskan niat ini. Pepatah ini disampaikan oleh kak Inta, Menteri Komunikasi dan Informasi Kabinet KM ITB yang tidak lain dan tidak bukan atasanku (pepetahnya anonim), begini kira-kira "Jangan selalu berharap organisasi lah yang memberi manfaat buat kita, tapi berpikirlah bahwa kita dapat memberi manfaat kepada organisasi tersebut", simple note tapi cukup menusuk dan tepat kepada niat-niat melencengku.
Iya kini aku sadar tapi aku telah terjerat pda konsekuensi dan aku punya tanggung jawab terhadapnya.
Categories: experience
Ya. Banyak anak muda yang mengatakannya. Alasan mencoba pekerjaan baru. Untuk mencari pengalaman.^^
ReplyDeleteKata itu memang indah. Tapi mungkin kurang kuat untuk menopang kita saat kita dituntut untuk bertahan.
Senang ada yang komentar catatan galauku :D
ReplyDeletebisa dijelaskan maksud sarannya mba? saya sedang butuh saran