Friday, 6 January 2012

Bulik

Posted by Sosiana Dwi On 7:33 pm

Aku merinding mendengar suara ibu di seberang pagi ini, “Nduk, Lik Siti sampun ninggal,” (Anakku, bibi/ tante Siti sudah meninggal), “Ninggal dengan tenang, sambil ibu ngaji di sampingnya, ibu bisa dengar Lik Siti bilang Allah dan dzikir, Alhamduliah Nduk.
Tak terasa mataku berat dan melelehlah air mata. Antara sedih dan bahagia.
Sedih karena satu-satunya bulik yang baik hati dan dengan ikhlas menyayangiku walau dengan sangat sederhana pergi. Aku akan sangat kehilangan saudara, saudara yang sangat baik hati. Walaupun bulikku ini bukan orang yang berada, dialah yang paling mau berkunjung ke rumahku sedangkan saudara lain ibuku tidak pernah. Tangerang ke Purbalingga dengan penuh senyum datang dengan membawa buah tangan sederhana. Bulik selalu tanpa pamrih menyayangi aku. Mungkin sekarang tak akan ada lagi yang akan berkunjung ke rumahku Purbalingga dari Tangerang dan dari daerah mana pun juga. Seperti hanya bulikku inilah satu-satunya saudara yang ibu punya. Dan dia kini telah hilang.
Sedih juga karena paklikku yang sangat setia kepadanya akan kesepian dan sendiri. Paklikku (pamanku) adalah suami bulikku yang baru beberapa tahun lalu menikah. Mereka pasangan yang belum diberikan momongan. Itu semua bermula dari sebuah kanker yang melekat di diri bulikku yang tidak sengaja ditemukan ibuku. Kanker payudara. Selama bulik sakit sel-sel kanker telah merenggut hari-harinya dan kesempatan memiliki anak. Namun tidak untuk kasih sayang dari paklik. Ia tak meninggalkan bulik apa pun walau keadaan menyerang fisiknya. Walau bulik berwajah hitam dan gosong karena radiasi, walau tubuhnya kurus digerogoti kanker Ia begitu menyayangi bulik dengan melakukan pekerjaan yang seharusnya bulik lakukan. Ia mencintai bulik dengan sangat sederhana. Dengan senyum yang tulus yang selalu ia sunggingkan dan cinta yang selalu tak alpha paklik persembahkan.
Namun diatas semua kesedihan akan hilangnya, ada banyak alasan untuk bahagia. Sel-sel kanker akan akan mati pula seiring jazadnya, seiring sakitnya. Tak akan ada lagi kesedihan. Tak akan ada pesakitan. Tak ada makanan rumah sakit lagi, tak ada larangan, tak ada kemmoterapi. Tak ada lagi anak kecil yang menyebutnya “orang gila” karena kepalanya yeng pelontos dimakan radiasi sinar kemmo. Tak ada penghinaan. Semoga kini bulik akan tenang dan semoga penyakitnya telah merontokaan semua dosa yang melekat padanya.
Aamin.

Ilustrasi penderita kanker yang tidak memiliki rambut
Dalam sebuah cerita seorang keponakan.

0 Opini:

Post a Comment

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology