Aku merinding mendengar suara ibu di seberang pagi ini, “Nduk, Lik Siti sampun ninggal,” (Anakku,
bibi/ tante Siti sudah meninggal), “Ninggal dengan tenang, sambil ibu ngaji di
sampingnya, ibu bisa dengar Lik Siti bilang Allah dan dzikir, Alhamduliah Nduk.”
Tak terasa mataku berat dan melelehlah air mata. Antara
sedih dan bahagia.
Sedih karena satu-satunya bulik yang baik hati dan dengan
ikhlas menyayangiku walau dengan sangat sederhana pergi. Aku akan sangat
kehilangan saudara, saudara yang sangat baik hati. Walaupun bulikku ini bukan
orang yang berada, dialah yang paling mau berkunjung ke rumahku sedangkan
saudara lain ibuku tidak pernah. Tangerang ke Purbalingga dengan penuh senyum
datang dengan membawa buah tangan sederhana. Bulik selalu tanpa pamrih
menyayangi aku. Mungkin sekarang tak akan ada lagi yang akan berkunjung ke
rumahku Purbalingga dari Tangerang dan dari daerah mana pun juga. Seperti hanya
bulikku inilah satu-satunya saudara yang ibu punya. Dan dia kini telah hilang.
Sedih juga karena paklikku yang sangat setia kepadanya akan
kesepian dan sendiri. Paklikku (pamanku) adalah suami bulikku yang baru
beberapa tahun lalu menikah. Mereka pasangan yang belum diberikan momongan. Itu
semua bermula dari sebuah kanker yang melekat di diri bulikku yang tidak
sengaja ditemukan ibuku. Kanker payudara. Selama bulik sakit sel-sel kanker
telah merenggut hari-harinya dan kesempatan memiliki anak. Namun tidak untuk
kasih sayang dari paklik. Ia tak meninggalkan bulik apa pun walau keadaan
menyerang fisiknya. Walau bulik berwajah hitam dan gosong karena radiasi, walau
tubuhnya kurus digerogoti kanker Ia begitu menyayangi bulik dengan melakukan
pekerjaan yang seharusnya bulik lakukan. Ia mencintai bulik dengan sangat
sederhana. Dengan senyum yang tulus yang selalu ia sunggingkan dan cinta yang
selalu tak alpha paklik persembahkan.
Namun diatas semua kesedihan akan hilangnya, ada banyak
alasan untuk bahagia. Sel-sel kanker akan akan mati pula seiring jazadnya,
seiring sakitnya. Tak akan ada lagi kesedihan. Tak akan ada pesakitan. Tak ada
makanan rumah sakit lagi, tak ada larangan, tak ada kemmoterapi. Tak ada lagi anak kecil yang menyebutnya “orang gila”
karena kepalanya yeng pelontos dimakan radiasi sinar kemmo. Tak ada penghinaan. Semoga kini bulik akan tenang dan semoga
penyakitnya telah merontokaan semua dosa yang melekat padanya.
Aamin.
Ilustrasi penderita kanker yang tidak memiliki rambut
Dalam sebuah cerita seorang keponakan.
0 Opini:
Post a Comment
Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)