Wajah Esa berbinar-binar menerima penghargaan ini. Sudah sekian kali ia tersenyum puas dan bangga saat menerima berbagai tropi yang diberikan padanya. Berbagai kejuaraan bulutangkis kabupaten disabetnya. Bahkan ia pernah menjadi peringkat 5 besar di provinsi. Membanggakan menjadi Esa. Sekolah mengelu-elukannya sebagai siswa berprestasi dan berbakat yang membawa nama baik sekolah. Dia dijuluki Smasher karena senjata andalannya adalah smashnya yang dapat menukik tajam menjebol pertahanan lawan.
Pekan Olahraga dan Seni mempercayakan tropi itu ada pada tangannya lagi. Para perempuan bersorak riuh saat nama Esa dipanggil. Esa balas melambai kepada fansnya itu. Ia maju dan menaiki podium bertingkat pada tingkat teratas. Kemenangan lagi dan lagi.
Begitulah kehidupan Esa menang dan menang lagi. Didikan ayahnya yang juga seorang pebulutangkis menjadikan ia keras. Tapi itulah kelemahannya.
Hari itu usai pengumuman kejuaraan, Esa mampir kerumah temannya yang kebetulan berada jauh di desa. Ia akan mengambil beberapa tugas sekolah yang kebetulan Joko, temannya itu yang mengerjakan.
Rumah Joko jauh di desa yang terpencil. Susah juga mengakses rumahnya. Sinyal pun lemah disana. Sampai disana Joko sedang pergi ke warung. Terpaksa Esa menunggunya dengan ditemani kakak perempuan Joko.
“Wah, Mas habis darimana kok bawa bawaan seperti itu?”tanya kakak perempuan Joko polos berbasa-basi seraya menunjuk tas yang berisi raket.
“Oh, ini adalah tas untuk menyimpan raket. Saya habis bertanding bulutangkis tadi.” Jawab Esa seadanya.
“Bertanding? Mas atlit ya? Bagaimana menang atau tidak?” tanya kakak Joko penuh keingintahuan.
“Iya begitulah. Alhamdulilah menang.”jawab Esa sambil tersenyum bangga.
“Saya boleh minta ajarin bulutangkis. Kami disini main bulutangkis biasanya pakai raket rusak. Koknya juga dari kertas yang digulung-gulung.”pintanya sederhana dan lugu.
“Apa Mba sering main badminton?”tanya Esa agak tak percaya.
“Kadang-kadang saya bermain dengan orang kampung sini. Kadang main denga anak kecil. Ya, kami biasanya melakukannya sore hari untuk mengisi waktu.”
Esa berpikir keras. Mungkin ini saatnya menunjukan dan mengajari pada wanita ini cara bermain yang profesional. Bukan permainan anak SD seperti itu.
“Baiklah,”jawab Esa akhirnya, “Kebetulan saya membawa dua raket. Satu untuk Mba satu untuk saya.”
Dan akhirnya halaman rumah Joko yang sederhana dan tidak selebar lapangan bulutangkis sesungguhnya menjadi tempat bermain mereka. Net yang terpasang juga net abal-abal dari jaring ikan yang dialihfungsikan.
Senyum merekah di bibir Esa saat melihat cara memegang raket kakak Joko yang canggung. Kakak Joko yang kurus kering, hitam legam, sederhana dan tak berisi. Ia yakin akan dengan mudah mengalahkannya. Dalam waktu lima menit pasti sudah ko.
Mereka memulai permainan mereka. Esa selalu mengungguli pada menit-menit pertama. Tapi lama-kelamaan cara memegang raket yang semula canggung dilakukan oleh kakak Joko berubah menjadi “liar”. Berulang kali smash yang diberikan Esa ditepis dengan sangat lincah. Smash itu gagal. Begitu berulang kali. Kedudukan mereka imbang.
Keringat mengucur deras di wajah Esa. Tak menyangka kalau wanita ini sangat tangguh melawannya. Banyak tembakannya yang tak tepat sasaran. Berulang kali usahanya gagal. Sedang wanita itu sangat santai menghadapi musuhnya yang satu ini. Seperti tak ada beban jika ia sedang menghadapi juara bulutangkis ini.
Nilai imbang. Mana mungkin? Pikir Esa tak karuan. Reputasinya seakan hancur di depan perempuan desa. Ia lelah. Sangat lelah. Ia was-was. Sangat was-was.
Hancur pertahanannya. Badannya sudah lelah. Berulang kali smash yang diberikan oleh kakaknya Joko menukik di pertahanannya dan jatuh di lantai tanah.
“Sudah yuk mainnya. Aku tahu kamu lelah. Aku juga hendak mencuci baju.”kata kakak Joko ingin menyudahi.
Dihadang rasa tak puas dan tak percaya Esa mengelak. Masih penasaran dan tak percaya jika ia harus kalah. Pasti ada kesalahan yang diperbuatnya. “Kita ulang lagi ya, Mba?”pinta Esa.
“Tidak perlu, kamu sudah hebat.”jawab kakak Joko tersenyum manis. “Joko sudah pulang itu. Mba, mau ke sungai dulu untuk mencuci ya. Oya, kamu harus tetap latihan. Down to earth, oke?” Kata kakak Joko lalu pergi meninggalkan Esa yang berpeluh keringat.
Esa masih tak percaya. Apa mungkin dia hanya mimi di siang hari ini. Joko yang sudah pulang menghampirinya. “Maaf Sa. Tadi lama karena banyak belanjaan yang harus dibeli.”
“Ia tidak apa-apa. Aku sedari tadi bersama kakakmu, kakak perempuanmu.”
“Kakak perempuanku? Mba Sinur?” tanyanya.
“Aku tak tahu. Mungkin. Tapi aku akui dia hebat sekali mengalahkanku badmintonan.” Kata Esa malu mengakuinya.
Joko langsung tertawa mendengar ucapan temannya. Ia tertawa tak henti-henti seperti menyembunyikan sesuatu.
Esa ingin menyela tawanya,”Ada apa Joko?”
“Hmmmpft... Hahahaha,”Joko menahan tawa, “Dia itu kakakku yang bersekolah di Surabaya. Dia itu atlit nasional bulutangkis. Ia sedang pulang kampung sekarang. Minggu besok ia akan latihan untuk Sea Games. Aku belum pernah cerita ya?”
“Apa?!” Esa terkaget-kaget.
Dan....
Diatas langit ternyata masih ada langit. Kakak Joko seorang wanita desa ternyata....
Hmmm...
Esa sadar...
Pekan Olahraga dan Seni mempercayakan tropi itu ada pada tangannya lagi. Para perempuan bersorak riuh saat nama Esa dipanggil. Esa balas melambai kepada fansnya itu. Ia maju dan menaiki podium bertingkat pada tingkat teratas. Kemenangan lagi dan lagi.
Begitulah kehidupan Esa menang dan menang lagi. Didikan ayahnya yang juga seorang pebulutangkis menjadikan ia keras. Tapi itulah kelemahannya.
Hari itu usai pengumuman kejuaraan, Esa mampir kerumah temannya yang kebetulan berada jauh di desa. Ia akan mengambil beberapa tugas sekolah yang kebetulan Joko, temannya itu yang mengerjakan.
Rumah Joko jauh di desa yang terpencil. Susah juga mengakses rumahnya. Sinyal pun lemah disana. Sampai disana Joko sedang pergi ke warung. Terpaksa Esa menunggunya dengan ditemani kakak perempuan Joko.
“Wah, Mas habis darimana kok bawa bawaan seperti itu?”tanya kakak perempuan Joko polos berbasa-basi seraya menunjuk tas yang berisi raket.
“Oh, ini adalah tas untuk menyimpan raket. Saya habis bertanding bulutangkis tadi.” Jawab Esa seadanya.
“Bertanding? Mas atlit ya? Bagaimana menang atau tidak?” tanya kakak Joko penuh keingintahuan.
“Iya begitulah. Alhamdulilah menang.”jawab Esa sambil tersenyum bangga.
“Saya boleh minta ajarin bulutangkis. Kami disini main bulutangkis biasanya pakai raket rusak. Koknya juga dari kertas yang digulung-gulung.”pintanya sederhana dan lugu.
“Apa Mba sering main badminton?”tanya Esa agak tak percaya.
“Kadang-kadang saya bermain dengan orang kampung sini. Kadang main denga anak kecil. Ya, kami biasanya melakukannya sore hari untuk mengisi waktu.”
Esa berpikir keras. Mungkin ini saatnya menunjukan dan mengajari pada wanita ini cara bermain yang profesional. Bukan permainan anak SD seperti itu.
“Baiklah,”jawab Esa akhirnya, “Kebetulan saya membawa dua raket. Satu untuk Mba satu untuk saya.”
Dan akhirnya halaman rumah Joko yang sederhana dan tidak selebar lapangan bulutangkis sesungguhnya menjadi tempat bermain mereka. Net yang terpasang juga net abal-abal dari jaring ikan yang dialihfungsikan.
Senyum merekah di bibir Esa saat melihat cara memegang raket kakak Joko yang canggung. Kakak Joko yang kurus kering, hitam legam, sederhana dan tak berisi. Ia yakin akan dengan mudah mengalahkannya. Dalam waktu lima menit pasti sudah ko.
Mereka memulai permainan mereka. Esa selalu mengungguli pada menit-menit pertama. Tapi lama-kelamaan cara memegang raket yang semula canggung dilakukan oleh kakak Joko berubah menjadi “liar”. Berulang kali smash yang diberikan Esa ditepis dengan sangat lincah. Smash itu gagal. Begitu berulang kali. Kedudukan mereka imbang.
Keringat mengucur deras di wajah Esa. Tak menyangka kalau wanita ini sangat tangguh melawannya. Banyak tembakannya yang tak tepat sasaran. Berulang kali usahanya gagal. Sedang wanita itu sangat santai menghadapi musuhnya yang satu ini. Seperti tak ada beban jika ia sedang menghadapi juara bulutangkis ini.
Nilai imbang. Mana mungkin? Pikir Esa tak karuan. Reputasinya seakan hancur di depan perempuan desa. Ia lelah. Sangat lelah. Ia was-was. Sangat was-was.
Hancur pertahanannya. Badannya sudah lelah. Berulang kali smash yang diberikan oleh kakaknya Joko menukik di pertahanannya dan jatuh di lantai tanah.
“Sudah yuk mainnya. Aku tahu kamu lelah. Aku juga hendak mencuci baju.”kata kakak Joko ingin menyudahi.
Dihadang rasa tak puas dan tak percaya Esa mengelak. Masih penasaran dan tak percaya jika ia harus kalah. Pasti ada kesalahan yang diperbuatnya. “Kita ulang lagi ya, Mba?”pinta Esa.
“Tidak perlu, kamu sudah hebat.”jawab kakak Joko tersenyum manis. “Joko sudah pulang itu. Mba, mau ke sungai dulu untuk mencuci ya. Oya, kamu harus tetap latihan. Down to earth, oke?” Kata kakak Joko lalu pergi meninggalkan Esa yang berpeluh keringat.
Esa masih tak percaya. Apa mungkin dia hanya mimi di siang hari ini. Joko yang sudah pulang menghampirinya. “Maaf Sa. Tadi lama karena banyak belanjaan yang harus dibeli.”
“Ia tidak apa-apa. Aku sedari tadi bersama kakakmu, kakak perempuanmu.”
“Kakak perempuanku? Mba Sinur?” tanyanya.
“Aku tak tahu. Mungkin. Tapi aku akui dia hebat sekali mengalahkanku badmintonan.” Kata Esa malu mengakuinya.
Joko langsung tertawa mendengar ucapan temannya. Ia tertawa tak henti-henti seperti menyembunyikan sesuatu.
Esa ingin menyela tawanya,”Ada apa Joko?”
“Hmmmpft... Hahahaha,”Joko menahan tawa, “Dia itu kakakku yang bersekolah di Surabaya. Dia itu atlit nasional bulutangkis. Ia sedang pulang kampung sekarang. Minggu besok ia akan latihan untuk Sea Games. Aku belum pernah cerita ya?”
“Apa?!” Esa terkaget-kaget.
Dan....
Diatas langit ternyata masih ada langit. Kakak Joko seorang wanita desa ternyata....
Hmmm...
Esa sadar...
Categories: Cerpen
0 Opini:
Post a Comment
Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)