Bayangan hitam itu merayap cepat. Menjalari kaki-kaki kecilku yang terlalu rapuh untuk sekedar berlari. Mulutku bungkam. Bayangan-bayangan menjalar seperti daya kapilaritas air pada kertas tissu. Cepat dan meresap ke sel-sel tubuhku. Aku lumpuh.
“Argghhhhh......” aku yang gelisah dalam tidurku akhirnya terbangun. Laki-laki kecil berumur sekitar 12 tahunan telah memegangi kaki kiriku. Matanya membelalak. Andre. Adik laki-lakiku rewel membangunkanku.
“ Kenapa Mba? Ayo! Udah siang! Katanya ada jam ke-nol? Telat tau.”kata Andre. Bersyukur aku ada yang membangunkanku untuk jam ke nol. Tapi Andre telah menjeda mimpi burukku yang ingin aku selesaikan malam ini juga.
Aku terdiam. Memandangi jemari kakiku yang kini terasa dingin menggigit. Lalu beralih ke cermin yang berada persis di depan tempat tidurku. “Hmm... bayangan itu?” pikirku. Lalu bayangan itu tersenyum. Sinis.
--
“Sial! Tiga hari terlambat jam ke-nol!”aku mengeluh. Ibu hanya tersenyum memandangi anak perempuannya yang menggumam sendiri dan terlihat terburu-buru.
“Vit, kamu nanti bisa kan pulang sekolah menempelkan poster pencarian kakakmu? Mungkin akan ada titik temu pencarian ini kalau kita masih berusaha mencari kakakmu.” kata ibu seraya meyodorkan beberapa helai pamflet. Aku menggangguk,mengambil beberapa, tersenyum dan langsung bergegas.
“Vita berangkat dulu ya Bu. Sudah telat. Assalamu’alaikum.”
Satu bulan kakakku hilang dimakan bumi sepertinya. Hobinya sebagai backpacker membuatnya susah dilacak. Tak ada kabar darinya. Aku merindukanny.
Aku memandangi kertas itu dengan pandangan hampa ketika sudah tak berada di pandangan ibu. Kakakku atau?....hahaha. Senyum sinis itu lagi dan dengan ringan aku membuang kertas-kertas itu ke got depan rumah. Tak perlu dicari toh dia masih ada. Sia-sia saja.
Dalam pamflet terulis “Orang Hilang, Agung Darmawan”.
--
Jalanan yang dihujani gerimis pagi di sela hawa dingin. Senyumku tak tersembunyi oleh matahari. Meski sakitku masih terasa aku tetap ingin tersenyum. Aku bergegas, kehilangan beberapa menit waktuku dengan bertemu Herawan.
“Ada apa Okvita buru-buru?” senyum tebar pesona itu Herawan sunggingkan di depan gerombolan perempuan yang duduk-duduk di depan kelas. Di belakangku perempuan yang kebanyakan kelas satu itu tertawa cekikikan sambil memandangi wajah rupawan Herawan.
“Wah, sekarang kita saingan telat ni? Hehehe.”kataku basa-basi.
Lalu berlalu. Sama-sama telat tapi dia selalu santai saja. Aku tak ingin berlama-lama dengannya.
Ketukan pintuku mengkagetkan anak sekelas yang sedang konsentrasi pada soal.
“Maaf Bu telat. Hujan” kataku lirih dan sopan. Aku takut dimarahi lagi.
“Ya, saya tahu sekarang hujan. Baiklah Okvita. Duduklah dan ambil soal di depan itu.” jawab ibu bijak itu seraya tersenyum. Kesopananku membuat beliau luruh. Tak seperti kekurangajaran Herawan.
Aku memandangi semua penjuru kelas mencari kursi kosong yang tersisa. Hmm.. tidak ada. Dan pria berkacamata unik dari tempat duduk paling depannya menyingkirkan tasnya dari kursi di sampingnya . Dan dengan senyum hangatnya ia berucap, “Silahkan Okvita.”
“Terima kasih Sofian.”aku tersenyum. Tapi rasa sakit ini makin menusukku dan keringat dingin mengucur dan tanganku dingin dan......
Sofian. Ketua OSIS yang aneh. Wajahnya kotak dan selalu tampak bodoh dengan gayanya mengibas-ibas penggaris. Gaya bicaranya mengagumkan.
Tapi tidak untukku. Saat ini.
Aku belum bilang padamu ya. Kalau aku punya kelainan yang amat aib untuk diceritakan. Dan aku yakin aku tak perlu menceritakannya pada kalian. Karena aku yakin kalian tak akan paham.
Tapi si Tengil Sofian membuatku jengah dengan pandangan matanya yang selalu tertuju padaku seharian ini dan bebrapa hari ini. Apa maksudnya? Apa dia sedang mencermati perubahan pada diriku? Tidak mungkin. Dia terlalu mudah ditebak. Mungkin dia itu sedang berakting bodoh kali ini dalam urusannya menarik simpati. Hmm..
Siang ini akan ku buat ulah lagi......
--
“Hilang!” teriak Anggita hingga penjuru sekolah.
“Iya. Tapi aku ngga tahu dimana. Tadi aku ke kamar kecil sebentar dan proposal itu kuletakan di meja ini. Dan... ah! Sudah! Aku tahu aku salah meninggalkan dokumen itu. Maaf” kata Doni menyesali perbuatan yang lalai dia lakukan.
“Masalahnya bukan salah dan tak salah tapi dimana barang itu sekarang? Atau acara kelululan bakal berakhir dengan tragis di tangan kita.” Kata Anggita panik sekarang. “Sof? Kamu dengan atau tidak sebenarnya” tanyanya tampak berkaca-kaca.
“Ya aku dengar. Dan aku tahu sesuatu.” Singkatnya dan dia tertawa. “Sudah kuduga”
--
Terancam itu yang kurasakan kini. Sial. Ini sudah kususun sebaik mungkin. Aku tak pernah gagal bahkan menyembunyikan tubuhku aku tak pernah gagal. Tapi kini si Tengil sepertinya tak sebodoh yang aku duga. Kibasan penggarisnya menyiratkan tanda untuk menyerang.
Aku lari... menembus koridor sekolah yang kini telah gelap. Aku yakin tak akan ada yang lihat kecepatan bergerakku. Tapi...
“Hai! Apakah aku perlu berkenalan denganmu?” tanyanya mencegat lariku, aku ketahuan.
“Ada apa Sofian? Maaf aku sedang terburu-buru.” Dengan sopan lagak Okvita aku bersopan santun. Aku berbalik arah menuju kamar ganti berharap dia enggan mengikutiku sejauh itu.
Tapi, celah itu. Cermin itu. Aku tidak melihat itu dan aku dan bayanganku yang sesungguhnya......
“Lama tak jumpa Agung Darmawan.”
--
“I get it. Hahaha ” Suara serak karena lelah tertawa di balik kursi putarnya sambil memandangi monitor yang penuh berisi video. “Lengkap lah renacanaku.”
To be continued.....
“Argghhhhh......” aku yang gelisah dalam tidurku akhirnya terbangun. Laki-laki kecil berumur sekitar 12 tahunan telah memegangi kaki kiriku. Matanya membelalak. Andre. Adik laki-lakiku rewel membangunkanku.
“ Kenapa Mba? Ayo! Udah siang! Katanya ada jam ke-nol? Telat tau.”kata Andre. Bersyukur aku ada yang membangunkanku untuk jam ke nol. Tapi Andre telah menjeda mimpi burukku yang ingin aku selesaikan malam ini juga.
Aku terdiam. Memandangi jemari kakiku yang kini terasa dingin menggigit. Lalu beralih ke cermin yang berada persis di depan tempat tidurku. “Hmm... bayangan itu?” pikirku. Lalu bayangan itu tersenyum. Sinis.
--
“Sial! Tiga hari terlambat jam ke-nol!”aku mengeluh. Ibu hanya tersenyum memandangi anak perempuannya yang menggumam sendiri dan terlihat terburu-buru.
“Vit, kamu nanti bisa kan pulang sekolah menempelkan poster pencarian kakakmu? Mungkin akan ada titik temu pencarian ini kalau kita masih berusaha mencari kakakmu.” kata ibu seraya meyodorkan beberapa helai pamflet. Aku menggangguk,mengambil beberapa, tersenyum dan langsung bergegas.
“Vita berangkat dulu ya Bu. Sudah telat. Assalamu’alaikum.”
Satu bulan kakakku hilang dimakan bumi sepertinya. Hobinya sebagai backpacker membuatnya susah dilacak. Tak ada kabar darinya. Aku merindukanny.
Aku memandangi kertas itu dengan pandangan hampa ketika sudah tak berada di pandangan ibu. Kakakku atau?....hahaha. Senyum sinis itu lagi dan dengan ringan aku membuang kertas-kertas itu ke got depan rumah. Tak perlu dicari toh dia masih ada. Sia-sia saja.
Dalam pamflet terulis “Orang Hilang, Agung Darmawan”.
--
Jalanan yang dihujani gerimis pagi di sela hawa dingin. Senyumku tak tersembunyi oleh matahari. Meski sakitku masih terasa aku tetap ingin tersenyum. Aku bergegas, kehilangan beberapa menit waktuku dengan bertemu Herawan.
“Ada apa Okvita buru-buru?” senyum tebar pesona itu Herawan sunggingkan di depan gerombolan perempuan yang duduk-duduk di depan kelas. Di belakangku perempuan yang kebanyakan kelas satu itu tertawa cekikikan sambil memandangi wajah rupawan Herawan.
“Wah, sekarang kita saingan telat ni? Hehehe.”kataku basa-basi.
Lalu berlalu. Sama-sama telat tapi dia selalu santai saja. Aku tak ingin berlama-lama dengannya.
Ketukan pintuku mengkagetkan anak sekelas yang sedang konsentrasi pada soal.
“Maaf Bu telat. Hujan” kataku lirih dan sopan. Aku takut dimarahi lagi.
“Ya, saya tahu sekarang hujan. Baiklah Okvita. Duduklah dan ambil soal di depan itu.” jawab ibu bijak itu seraya tersenyum. Kesopananku membuat beliau luruh. Tak seperti kekurangajaran Herawan.
Aku memandangi semua penjuru kelas mencari kursi kosong yang tersisa. Hmm.. tidak ada. Dan pria berkacamata unik dari tempat duduk paling depannya menyingkirkan tasnya dari kursi di sampingnya . Dan dengan senyum hangatnya ia berucap, “Silahkan Okvita.”
“Terima kasih Sofian.”aku tersenyum. Tapi rasa sakit ini makin menusukku dan keringat dingin mengucur dan tanganku dingin dan......
Sofian. Ketua OSIS yang aneh. Wajahnya kotak dan selalu tampak bodoh dengan gayanya mengibas-ibas penggaris. Gaya bicaranya mengagumkan.
Tapi tidak untukku. Saat ini.
Aku belum bilang padamu ya. Kalau aku punya kelainan yang amat aib untuk diceritakan. Dan aku yakin aku tak perlu menceritakannya pada kalian. Karena aku yakin kalian tak akan paham.
Tapi si Tengil Sofian membuatku jengah dengan pandangan matanya yang selalu tertuju padaku seharian ini dan bebrapa hari ini. Apa maksudnya? Apa dia sedang mencermati perubahan pada diriku? Tidak mungkin. Dia terlalu mudah ditebak. Mungkin dia itu sedang berakting bodoh kali ini dalam urusannya menarik simpati. Hmm..
Siang ini akan ku buat ulah lagi......
--
“Hilang!” teriak Anggita hingga penjuru sekolah.
“Iya. Tapi aku ngga tahu dimana. Tadi aku ke kamar kecil sebentar dan proposal itu kuletakan di meja ini. Dan... ah! Sudah! Aku tahu aku salah meninggalkan dokumen itu. Maaf” kata Doni menyesali perbuatan yang lalai dia lakukan.
“Masalahnya bukan salah dan tak salah tapi dimana barang itu sekarang? Atau acara kelululan bakal berakhir dengan tragis di tangan kita.” Kata Anggita panik sekarang. “Sof? Kamu dengan atau tidak sebenarnya” tanyanya tampak berkaca-kaca.
“Ya aku dengar. Dan aku tahu sesuatu.” Singkatnya dan dia tertawa. “Sudah kuduga”
--
Terancam itu yang kurasakan kini. Sial. Ini sudah kususun sebaik mungkin. Aku tak pernah gagal bahkan menyembunyikan tubuhku aku tak pernah gagal. Tapi kini si Tengil sepertinya tak sebodoh yang aku duga. Kibasan penggarisnya menyiratkan tanda untuk menyerang.
Aku lari... menembus koridor sekolah yang kini telah gelap. Aku yakin tak akan ada yang lihat kecepatan bergerakku. Tapi...
“Hai! Apakah aku perlu berkenalan denganmu?” tanyanya mencegat lariku, aku ketahuan.
“Ada apa Sofian? Maaf aku sedang terburu-buru.” Dengan sopan lagak Okvita aku bersopan santun. Aku berbalik arah menuju kamar ganti berharap dia enggan mengikutiku sejauh itu.
Tapi, celah itu. Cermin itu. Aku tidak melihat itu dan aku dan bayanganku yang sesungguhnya......
“Lama tak jumpa Agung Darmawan.”
--
“I get it. Hahaha ” Suara serak karena lelah tertawa di balik kursi putarnya sambil memandangi monitor yang penuh berisi video. “Lengkap lah renacanaku.”
To be continued.....
Categories: Cerpen
yang buat tugas bahasa indonesiamu yang mana sos?
ReplyDelete