30 Nov 2010
Padahal,film yang
Indonesiajustru adadi film-filmpendek.
Oleh Mohammad Akbar
Di tengah persaingan sarat konflik terhadap nominasi film cerita pada gelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2010, mungkin banyak pihak yang telah melupakan film pendek. Film pendek merupakan salah satu kegiatan yang turut dilombakan pada festival pelat merah" ini. Film ini rata-rata berdurasi 30 menit. Di sini, tak ada keriuhan, apalagi tarik ulur kepentingan. Bahkan, hampir sebagian besar wartawan peliput FFI terasa begitu abai untuk memberitakan bahwa di Batam, Ahad (28/11), FFI telah mengumumkan nominasi film pendek dan film dokumenter.
"Begitulah industri film kita. Keberpihakannya masih condong kepada film panjang (film cerita). Padahal, kalau kita mau jujur, film pendek itu adalah laboratorium pembuatan film. Bahkan, film Indonesia yang sebenarnya, ya ada di film pendek," kata Dimas Jayasrana, salah satu juri film pendek, dalam obrolan dengan Republika. Dimas tak sekadar berupaya memberikan pembelaan terhadap jerih payah yang telah dilakoninya. Namun, dari 67 judul film yang telah didaftarkan, lima judul film di antaranya telah dinyatakan lolos untuk bersaing. Dimas mengatakan, begitu tampak keragaman tema cerita lewat pendekatan lokal Indonesia.
Pendekatan lokal di sini merujuk pada pen-cernaan tema yang berasal langsung dari wilayah sekitar pembuat filmnya berada, hingga dialog- . dialog yang masih memakai bahasa lokal. "Bisa dibilang gaya pencernaan dan dialog semacam itu akan sangat sulit untuk ditemukan pada film panjang nasional kita," kata Bowo Leksono, anggota dewan juri film pendek lainnya.
Bowo sendiri merupakan salah satu pegiat pembuat film pendek dari komunitas lokal Banyumas Raya. Dalam wilayah Banyumas Raya ini berisi empat kabupaten, yakni Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Banyumas.
Dari 67 film yang masuk ke dalam meja dewan juri film pendek itu. Bowo mengakui ada salah satu karya pelajar SMP asal Banyumas Raya. Film berjudul Pigura itu bercerita tentang kerinduan anak-anak terhadap bapaknya. Dialog yang digunakannya adalah bahasa Banyumasan.
Selain tema cerita lokal ala Pigura. Bowo mengatakan, cerita yang ada di film pendek FFI 2010 sangat luas. Dalam film Timun Mas, pembuatnya mencoba meracik ulang legenda Timun Mas tersebut dalam bentuk animasi. Selanjutnya, ada Marni yang bercerita soal Petrus (penembak misterius) dalam lokal Yogyakarta masa kini.
Lalu, Sang Penggoda bercerita tentang terorisme. Kelas 500-an seputar persoalan lokal di Jawa yang dikemas dalam dialog berbahasa Bojonegorom, serta Angin mengenai perjalananspiritual seorang anak manusia untuk berusaha menjadi lebih baik.
"Semuanya digarap dengan teknik pembuatan film yang baik dan rapi. Kami saja bahkan sangat sulit untuk menentukan siapa kira-kira yang akan bisa menang," kata Dimas.
Mengenai masih terjadinya Jawa-sentris pada isi cerita film pendek. Dimas menilai hal tersebut kemungkinan terjadi akses untuk mengirimkan karya ke FFI masih lebih luas dari para pembuat film pendek asal Jawa. "Memang ada beberapa pembuat dari luar Jawa, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Kemungkinannya, minimnya publikasi di luar Jawa sana." kata dia.
Peran pemerintah
Terhadap minimnya perhatian yang terjadi pada kegiatan film pendek di FFI 2010 ini menjadi semacam cerminan dari bentuk kurang pedulinya pemerintah terhadap karya "ini. Sejauh ini, kata Dimas, ruang untuk memutarkan film pendek sceara massal hanya ada di bioskop jaringan Blitz maupun beberapa pusat kebudayaan asing yang ada di Indonesia.
"Kalau kita melihat jaringan bioskop yang ada sekarang, semuanya masih didominasi dan dimonopoli oleh film panjang. Untuk film pendek, rasanya sangat sulit untuk mcncmbusnya," kata Dimas.
Padahal di luar negeri, kata pria yang juga bekerja pada pusat kebudayaan Prancis ini, perhatian pemerintah terhadap geliat dan kemajuan film pendek sangat besar.
"Di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, maupun Prancis, perhatian terhadap film pendek sangat besar. Tak cuma memberikan bioskop yang bisa ditonton untuk umum, dalam proses produksi mereka juga memberikan banyak kemudahan kepada para pembuatnya," ujar Dimas. ed darmawan sepriyossa
Padahal,film yang
Indonesiajustru adadi film-filmpendek.
Oleh Mohammad Akbar
Di tengah persaingan sarat konflik terhadap nominasi film cerita pada gelaran Festival Film Indonesia (FFI) 2010, mungkin banyak pihak yang telah melupakan film pendek. Film pendek merupakan salah satu kegiatan yang turut dilombakan pada festival pelat merah" ini. Film ini rata-rata berdurasi 30 menit. Di sini, tak ada keriuhan, apalagi tarik ulur kepentingan. Bahkan, hampir sebagian besar wartawan peliput FFI terasa begitu abai untuk memberitakan bahwa di Batam, Ahad (28/11), FFI telah mengumumkan nominasi film pendek dan film dokumenter.
"Begitulah industri film kita. Keberpihakannya masih condong kepada film panjang (film cerita). Padahal, kalau kita mau jujur, film pendek itu adalah laboratorium pembuatan film. Bahkan, film Indonesia yang sebenarnya, ya ada di film pendek," kata Dimas Jayasrana, salah satu juri film pendek, dalam obrolan dengan Republika. Dimas tak sekadar berupaya memberikan pembelaan terhadap jerih payah yang telah dilakoninya. Namun, dari 67 judul film yang telah didaftarkan, lima judul film di antaranya telah dinyatakan lolos untuk bersaing. Dimas mengatakan, begitu tampak keragaman tema cerita lewat pendekatan lokal Indonesia.
Pendekatan lokal di sini merujuk pada pen-cernaan tema yang berasal langsung dari wilayah sekitar pembuat filmnya berada, hingga dialog- . dialog yang masih memakai bahasa lokal. "Bisa dibilang gaya pencernaan dan dialog semacam itu akan sangat sulit untuk ditemukan pada film panjang nasional kita," kata Bowo Leksono, anggota dewan juri film pendek lainnya.
Bowo sendiri merupakan salah satu pegiat pembuat film pendek dari komunitas lokal Banyumas Raya. Dalam wilayah Banyumas Raya ini berisi empat kabupaten, yakni Purbalingga, Banjarnegara, Cilacap, dan Banyumas.
Dari 67 film yang masuk ke dalam meja dewan juri film pendek itu. Bowo mengakui ada salah satu karya pelajar SMP asal Banyumas Raya. Film berjudul Pigura itu bercerita tentang kerinduan anak-anak terhadap bapaknya. Dialog yang digunakannya adalah bahasa Banyumasan.
Selain tema cerita lokal ala Pigura. Bowo mengatakan, cerita yang ada di film pendek FFI 2010 sangat luas. Dalam film Timun Mas, pembuatnya mencoba meracik ulang legenda Timun Mas tersebut dalam bentuk animasi. Selanjutnya, ada Marni yang bercerita soal Petrus (penembak misterius) dalam lokal Yogyakarta masa kini.
Lalu, Sang Penggoda bercerita tentang terorisme. Kelas 500-an seputar persoalan lokal di Jawa yang dikemas dalam dialog berbahasa Bojonegorom, serta Angin mengenai perjalananspiritual seorang anak manusia untuk berusaha menjadi lebih baik.
"Semuanya digarap dengan teknik pembuatan film yang baik dan rapi. Kami saja bahkan sangat sulit untuk menentukan siapa kira-kira yang akan bisa menang," kata Dimas.
Mengenai masih terjadinya Jawa-sentris pada isi cerita film pendek. Dimas menilai hal tersebut kemungkinan terjadi akses untuk mengirimkan karya ke FFI masih lebih luas dari para pembuat film pendek asal Jawa. "Memang ada beberapa pembuat dari luar Jawa, tetapi jumlahnya masih sangat sedikit. Kemungkinannya, minimnya publikasi di luar Jawa sana." kata dia.
Peran pemerintah
Terhadap minimnya perhatian yang terjadi pada kegiatan film pendek di FFI 2010 ini menjadi semacam cerminan dari bentuk kurang pedulinya pemerintah terhadap karya "ini. Sejauh ini, kata Dimas, ruang untuk memutarkan film pendek sceara massal hanya ada di bioskop jaringan Blitz maupun beberapa pusat kebudayaan asing yang ada di Indonesia.
"Kalau kita melihat jaringan bioskop yang ada sekarang, semuanya masih didominasi dan dimonopoli oleh film panjang. Untuk film pendek, rasanya sangat sulit untuk mcncmbusnya," kata Dimas.
Padahal di luar negeri, kata pria yang juga bekerja pada pusat kebudayaan Prancis ini, perhatian pemerintah terhadap geliat dan kemajuan film pendek sangat besar.
"Di beberapa negara Eropa, seperti Belanda, Jerman, maupun Prancis, perhatian terhadap film pendek sangat besar. Tak cuma memberikan bioskop yang bisa ditonton untuk umum, dalam proses produksi mereka juga memberikan banyak kemudahan kepada para pembuatnya," ujar Dimas. ed darmawan sepriyossa
Categories: berita
0 Opini:
Post a Comment
Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)