Monday, 1 April 2013

Desain Arsitektur yang Menggandeng Para Diffable

Posted by Sosiana Dwi On 8:51 am
Di dunia ini tidak ada yang seutuhnya sempurna. 

Semua punya kekurangan masing-masing. Misal sombong, iri, dengki, dusta, munafik, dan lain-lain. Sebagaimana manusia normal yang lain kekurangannya tidak akan nampak dari ciri fisik. Beruntunglah yang punya dua kaki, dua mata, dua tangan, satu hidung dengan dua lubangnya, dua telinga, satu mulut dan keseluruhan itu berfungsi dengan baik. Karena diantara manusia di dunia ada yang tidak memiliki keseluruhan yang manusia normal miliki. 

Mereka disebut diffable atau berbeda. Saya lebih cocok dengan istilah itu dibandingkan dengan disable (tidak mampu) atau disabilitas atau malah cacat! Karena ungkapan itu terdengar sangat kasar bagi orang-orang seperti mereka (menurut saya). Lebih kedengaran manusiawi jika dianggap berbeda daripada dengan sebutan tidak mampu. Bukan berarti mereka tidak mampu namun keadaanlah yang memaksakan mereka untuk tidak mampu. Bukan kemauan mereka kan? Bukan kesalahan mereka juga kan? Bukan karena mereka tidak mau berusaha tapi Tuhan telah menggariskan seperti itu. Mereka menjadi berbeda namun disitulah prestasi bagi mereka bagi manusia yang normal. Sesuatu yang dapat di ambil pelajarannya untuk Anda yang normal. Tak berati sebutan diffable hanya mampir ke orang tuna netra, tuna daksia dan semua yang berawalan tuna (kecuali tuna susila) orang yang sudah lanjut usia pun jika sudah tidak bisa berjalan (memakai kursi roda) juga dimasukan dalam kategori diffable

Isu aksesibilitas bagi para diffable nampaknya kini semakin marak terdengar di Indonesia. Namun di dunia   Internasional isu ini sudah menyebar sejak lama sedangkan di Indonesia hanya baru-baru ini. Suatu kali dalam kelas Bentuk Ruang Arsitektur (kelas wajib yang aku ambil di jurusan Arsitektur) dosen di kelas pada saat itu, pak Adib menceritakan pengalamannya mengenai desain yang aksesibilitas. Saat beliau masih menjadi mahasiswa beliau mendapat tawaran untuk mendesain bangunan di negara Canada. Dengan ketelitian yang cermat beliau memuat desain tersebut tentu saja karena proyek ini termasuk proyek internasional. Namun ketika di presentasikan desain beliau tidak lantas diterima hanya karena satu hal. Bangunan itu tidak dapat digunakan oleh orang-orang diffabel atau dengan kata lain tingkat aksesibilitasnya kurang! Pada zaman itu isu aksesbilitas belum berkembang di negara kita. Padahal cara untuk menggubah ruang arsitektur salah satu diantaranya adalah dengan meningkatkan High Perfomances Building yang ditandai 8 faktor. Antara lain Estetik, cost efektif, fungsional, pemeliharaan bangunan bersejarah, produktif, aman, berkelanjutan dan yang paling penting aksesibilitas.

Yang dimaksud aksesibiltas berarti ia dapat diakses semua orang termasuk kaum difable. Untuk itulah setiap perancangan bangunan di studio arsitektur di kampusku selalu memperhatikan aspek ini juga. Kita dianjurkan untuk mendesain sesuatu yang ideal bagi semua pihak. Terlebih pada bangunan yang sering diakses publik karena kita tak bisa memprediksi di kemudian hari kalangan mana saja yang akan berkunjung ke bangunan kita. Bahkan rumah pribadi pun harus aksesibilitas jika dirumahnya ada kaum difable. Aksesibilitas ini biasanya ditandai dengan dibuatnya ramp yaitu jalan miring alih-alih tangga bagi kaum normal, untuk membantu pengguna kursi roda, tongkat berjalan, atau tuna netra. Ada dimensi tertentu yang harus dipenuhi agar bisa digunakan normal maupun difable, sebagai contoh desain tempat wudhu. 

Maket desain dalam studio arsitektur yang menggunakan ramp

Level ketinggian bangunan. Dimana tempat wudhu dan toliet diturunkan sedikit untuk memudahkan difable
Kamar mandi / toilet yang biasanya cenderung sempit dan level lantai dibuat turun agar air tidak merembas ke dalam rumah juga perlu di desain khusus. Di tempat publik seharusnya bukaan pintu dibuat ke arah luar agar toilet tidak sempit terlebih dengan pengguna kursi roda yang perlu tempat luas. Perlu diberi ramp pula di dalamnya agar tak terpeleset. Tak hanya desain arsitektur yang perlu diperhatikan tapi desain barang-barangnya juga harus memperhatikan pengguna disabilitas. Seperti lift, sangat bijaksana jika angka pada tombolnya menggunakan huruf braille bagi para tuna netra agar bisa dimudahkan. Signage yang bisa dilihat oleh mata normal juga perlu bisa "dilihat" oleh tuna netra. Tentu dengan huruf braillenya yang menonjol.

 Di kampus selalu dihadirkan apa-apa yang idealis namun nyatanya ketika kita keluar dari pintu gerbang kampus banyak hal yang janggal dan tidak sesuai dengan yang dipelajari di kampus. Semua berdalih "tidak perlu", "mahal","Tidak terlalu penting" sebagian lain bahkan tidak menyadari bahwa ada kaum difable yang perlu diperhatikan keberadaanya.

Beberapa bangunan publik jauh dari standar aksesibilitas, bahkan mereka tidak menyebutkan kaidah aksesibilitas dalam desainnya. Beberapa pula membuat namun tidak sesuai standar yang telah ditetapkan. Sebagai contoh untuk ramp, kemiringannya tidak boleh lebih dari 6 derajat. Lebih dari itu masih ada resiko kursi roda dapat tergelincir. Sebagai mahluk normal saya tidak akan menyadari miss pada fasilitas itu namun bagi difable saya tidak dapat membayangkan perasaan mereka. Mereka toh ingin mandiri untuk melakukan aktivitas namun dengan kealpaan fasilitas penunjang dapat mengakibatkan mereka selalu butuh orang lain. Di beberapa tempat maintenance dari fasilitas bagi para difabel ini buruk sekali, entah karena kurang perawatan, jarang digunakan atau bahkan karena proses kontruksinya menggunakan yang murahan. Di lain tempat tidak ada tanda jika itu fasilitas untuk penyandang diffable sehingga tangan-tangan usil manusia membuat fasilitas hanya sebagai pajangan semata. 

Jika saya difable saya pasti berusaha untuk tidak menyusahkan orang lain namun tidak pula menyusahkan diri sendiri. Kebutuhan dan kemudahan yang bisa orang normal nikmati saya turut pula ingin merasakannya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang diffable hidup di tengah-tengah manusia normal yang lainnya. Kadang pasti terbesit rasa minder dalam hati, apalagi jika ditambah fasilitas baginya yang tak disediakan. Pasti akan memberi kesan psikologis yag mendalam seperti tidak disambut baik oleh lingkungan. Salah seorang teman saya, yang berbeda namun luar biasa Luthfie Muawan, Anda mungkin pernah melihat profilnya sebagai siswa yang membanggakan nama Indonesia. Ia adalah mahasiswa jurusan Biologi di kampus saya. Sebagai mahasiswa Biologi praktikum demi praktikum sering dilalui dengan alat-alat lab khusus. Namun bagaimana rasanya jika ia harus menggunakan alat yang mengharuskan kedua tangannya bekerja padahal salah satu tangannya tidak sempurna? Tentunya ia sangat sedih ketika ia tak bisa bekerja normal seperti yang lain. Untungnya kampus begitu berbaik hati dan mengerti kondisi yang berbeda darinya, maka ada alat khusus baginya untuk praktikum itu. Luthfie tentu sangat bahagia karena ia begitu dihargai sebagai mahluk Tuhan. Ia bukan tidak mampu namun ia berbeda.

Kebutuhan-kebutuhan kecil dan sikap penghargaan itulah yang diharapkan dapat ada pada fasiltas untuk menunjang aksesibilitas. Harapannya paradigma aksesibiltas dapat berkemang pada semua aspek, desain arsitektur maupun desain produknya, dan tak lupa toleransi antar sesama manusianya. Saya begitu menghargai usaha Kartunet untuk menyebarkan nilai toleransi tersebut melalui websitenya http://www.kartunet.com untuk membuat lomba mengenai aksesibilitas tanpa batas yang saya ikuti ini menggandeng http://www.xl.co.id .

Saya harap di semua tempat ada hal-hal seperti ini, yang terlupa namun sangat berguna bagi mereka yang membutuhkannya. Bagi saya dengan kita membuat adanya fasilitas bagi kaum difable kita telah menghargai jutaan difable di dunia ini.



Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia
Categories: , ,

1 comment:

  1. keren...


    blog walker.
    kunjungi pula, nih: http://diarikutubuku.blogspot.com/2013/03/percakapan-absurd-dalam-sms-bagian-2.html

    ReplyDelete

Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology