Pekan lalu aku ke
rumah nenek yang berada di Pekanbaru. Alasan utamanya bukan untuk berlibur
namun untuk menghadiri pernikahan kakakku di rantau sana. Masalahnya pekan itu
pula aku tidak sedang libur sehingga secara otomatis statusku selalu absen di
setiap daftar hadir di kelas. Jadwal ke bolosankuu ternyata bentrok pula dengan
jadwal penandatanganan surat bermaterai
yang diadakan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LK) kampus untuk beasiswa yang aku
terima, Bidik Misi.
Mendapat informasi
mengenai agenda itu sedangkan aku sudah mengagendakan kegiatanku jauh-jauh hari
seolah tak ingin repot. Catat ya, bermula karena TAK INGIN REPOT. Aku pun
mengamanahkan teman dekatku untuk berpura-pura menjadi aku dan
menandatangani surat bermaterai tersebut. Aku yang sedang berada di seberang
pulau tentu tidak tahu menahu keadaan kampus. Yang aku tahu tanda tanganku
tidak akan bermasalah dan tentu saja tidak akan membuat masalah bagi para
penerima beasiswa lainnya. Karena biasanya ada keterlambatan satu orang saja
maka seribu orang akan menunggunya. Yang jadi masalah tunggu-menunggu ini
masalah UANG kuliah dan UANG hidup. Intinya masalah UANG sih yang akan selalu
jadi akar permasalahan d segala bidang.
Singkat cerita saja
ternyata karena kesalahpahaman maka rencana picikku tidak berhasil lancar.
Karena ada dua temanku yang ternyata bersedia bertanda tangan untukku sehingga
aku memiliki dua tanda tangan yang berbeda dan kedua-duanya bukan berasal dari
tangan si empunya yaitu aku. Niat ini tercium. Mereka tentu saja berang dengan
sikapku ini sampai akhirnya hampir saja beasiswa yang telah menghidupku selama
berbulan-bulan di kampus yang katanya "Termahal" bangsa ini dicabut.
Mendengar kabar itu hatiku kecut namun aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku
merasa antara tak beruntung karena operasi kecil-kecilan ini gagal dan merasa
berdosa juga. Semua lebur jadi satu yang menjadikan aku hanya diam termenung.
"Kamu sudah memalsukan data, memalsukan
tanda tangan, membuat beasiswa terlambat," ujar Ketua LK. Sampai akhirnya
aku diharuskan menuliskan surat pernyataan untuk tidak mengulangi kesalahan
yang sama dan apabila iya aku harus rela beasiswa ini dicabut.
"Adek kalau
misal ada masalah bilang saja ke sini. Yang penting mah komunikasi. Kita mah nggak
bakal ngelarang adek mau kemana juga. Kemarin ada yang ke Cisarua tapi mereka
ngomong ke kita dulu," bapak di LK yang lain menasehati. Aku hanya
menganggukan kepala bertanda iya. Dalam hati aku menyimpan sesal, malu, dan
yang paling dalam adalah rasa bodoh tak terkira.
"Bukan apa-apa
dek. Ini kan kampus pendidikan. Kita gak cuma mengurusi administrasi saja tapi
juga mendidik perilaku mahasiswa. Salah satunya ya ini." lanjutnya.
JLEB.
Rasanya ada pahu
godam yang memukul kesadaranku. Menuliskan satu demi satu kata membuat aku
menyadari aku telah berbuat salah yang sangat tolol. Menulis satu per satu kata
si surat permohonan maaf itu membuat aku menuliskan daftar panjang hal yang
paling memalukan dari diriku. Seakan baru sadar dari sisa mabuk aku terbangun
dan merasa menyesal dari hati paling dalam. Air mataku meleleh namun ku tahan.
--
Esoknya tak sengaja
aku melihat tayangan di Youtube yang menayangkan tentang video rekaman seorang
polisi yang tertangkap sedang menilang seorang bule yang tidak mengenakan helm.
Alih-alih menilang dengan alasan hukum ia malah mengantongi sejumlah uang dari
pekerjaan tersebut. Bahkan ia mengajak sang bule untuk minum bir di pos saat
sang polisi sedang bertugas di Lio Square Bali. Naasnya bule tadi adalah seorang jurnalis Rusia
yang sedang melakukan liputan mengenai acaranya. Untuk lebih jelasnya bisa
dilihat di video ini
Tindakan sang polisi
tadi adalah suatu hal biasa di tengah masyarakat Indonesia. Orang ditilang lalu membayar uang kompensasi
yang ujung-ujungnya bukan ke kas negara malah bisa jadi masuk ke perut buncit
petugas. Kongkalikong sudah tertutup
dengan label keramah tamahan. Bagi kita inilah yang kita nilai dari perilaku
kita. Suatu bal yang BIASA terjadi dan tidak terlalu menggoyah zona nyaman
kita.
Namun tidak begitu
adanya wartawan Rusia tersebut, hal yang salah dan "dibenarkan" oleh
kita ini ternyata aib yang sudah terlanjut tersebar ke dunia. Pada titik inilah
semua pihak merasa bahwa korupsi ini sudah menggoyah sampai ke akar rumput. Ketika
ada pertanyaan "Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang?" bisa jadi
jawaban suap yang diberikan karena kini rumput pun sudah tersebar virus yang
namanya korup.
Masalahnya mari kita
kaitkan dengan kasus yang menerima saya sendiri. Jika diklarifikasikan saya
sendiri telah melakukan kasus korupsi walaupun kecil-kecilan. Saya telah
melakukan kesalahan di depan harga yang dinamakan materai dimana disana garuda
pancasila bertengger sebagai simbol negara kita. Hal ini sepele dan kadang
biasa oleh beberapa dari kita namun inilah bibit-bibit dari korupsi timbul.
Suatu keadaaan yang namanya BIASANYA. Telah mendistorsikan antara kesalahan dan
kebenaran dengan kebiasaan yang timbul di masyarakat. Mari kita sebut dengan
budaya.
Sesal saya bertambah
besar seketika. Namun mengingat kata-kata yang LK berikan bahwa tugas institusi
pendidikan adalah memberi pendidikan moral kepada stake holdernya saya merasa
ada harapan. Semoga semua institusi menjalankan tugas ini dengan baik agar orang-orang
seperti saya yang pernah gelap dapat tercerahkan dan tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama.
Saya bersyukur
ketika akan melakukan kesalahan yang berlabel korupsi Tuhan tidak merelakannya
dan menyadarkan saya ke jalan yang benar melalui peringatan yang LK berikan.
Saya harap video polisi tadi juga bisa memberikan cerminan perilaku budaya kita
ke masyarakat luas agar mereka terhenyak untuk akhirnya sadar.
Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme ada pada celah-celah yang kita tak pernah sadari.
Seringkali ia
mengakar karena sudah budaya.
Semoga tulisan ini
dapat memberikan tamparan sebentar,
Semangat
Menginspirasi ! :)
Sketsa-sketsa Mimpi, akan membawamu ke imajinasi penuh impian dalam sketsa kasar manusia
0 Opini:
Post a Comment
Bahasa menunjukan bangsa, jadi pergunakanlah bahasa yang baik dengan format sopan santun yang telah ada :)