Saturday, 18 February 2012

Aku dan Monyetku

Posted by Sosiana Dwi On 3:49 pm
Entah kenapa aku suka sekali dengan monyet. Tidak ada hubungannya mereka dengan teori sesat Darwin ataupun dengan kemiripan manusia. Tapi bagi my humble opinion monyet itu sangat lucu dan mirip bayi kecil. Tingkah mereka mirip sekali dengan manusia hanya saja mereka itu berambut di sekujur tubuh. Mungkin itu hal yang membuat aku suka dengan monyet terlepas dari olok-olok yang orang berikan kepadanya. Mereka masih lucu walau dikatakan jelek oleh manusia.

Sebenarnya aku ingin memelihara monyet di rumah tapi sayang di rumah ku tidak ada pohon besar yang bisa jadi tempat bergelayutan indah bagi sang monyet. Jadinya aku hanya bisa menatap senang boneka monyetku.

Awalnya bernama Isaac tapi lama-lama aku ganti dengan Om*n. Lalu karena suatu hal aku ganti dengan O*i. Hahaha
hanya sekedar intermezo

Kemarin (17/02/2011) ibuku yang baru dari Jakarta tiba-tiba nagsih boneka monyet putih ini. Awalnya heran juga, ngapain ibuku. Terus ibuku bilang kalau tadi iseng beli di Kereta. Entahlah tapi hal ini membuatku terharu sekali pada kasih sayang ibuku.
Makasih ibu :**

Kera putih, namanya Esay aja deh. :D


Ini pengalaman sederhana yang tidak penting yang ingin aku share. Semoga ada manfaatnya selain nyampah di dasbor :)


Friday, 17 February 2012

Jalan-jalan Media #2

Posted by Sosiana Dwi On 2:01 am
Udah engga sabar untuk membaca Jalan-Jalan Media yang kedua? Oke..
Saya akan lanjutkan hasil pengepoanku di KOMPAS!! Dengan sisa-sisa tenaga yang kami punya kami langkahkan juga kaki ke Kompas cetak yang jaraknya tidak terlalu jauh dari Kompas TV. Hanya saja panas ibukota membuat badan menjadi jetlag (kata yang over lebay). Ternyata kami sudah termasuk terlambat tidak sesuai perjanjian awal dimana pukul 13.00 seharusnya kami sudah ada di Kompas cetak namun karena satu dan lain hal kami harus menerlambatkan diri. Selama itu kami ditunggu oleh pihak Kompas yang mungkin punya beragam pekerjaan lain yang ada tenggat waktunya dibandingkan menunggu kami mahasiswa ngaretan. :l

KOMPAS cetak
Sesampainya di sana kami diantar ke ruang pertemuan yang nyaman. Merasa tersanjung juga diperlakukan sangat baik walaupun kami molor lama. Diawali dengan penyuguhan video sejarah dari Kompas.

Didirikan pada 28 Juni 1965 awalnya Kompas diberi nama Bentara Rakyat lalu atas usulan presiden Soekarno maka diganti menjadi Kompas yang berarti penunjuk jalan bagi orang dan menjadi amanat hati nurani rakyat. Awal berdirinya dipimpin oleh Pemimpin Umum P.K Ojong dan Pemimpin Redaksi Jakob Oetama. Hingga saat ini mash dipimpin oleh Jakob Oetama. Dahulu saat masih sederhana Kompas hanya berisi 40 halaman dengan oplah 4800 eksemplar. Saat ini Kompas adalah satu-satunya media cetak yang lolos di ABC (audit bureau of circulation) dan saat ini telah memiliki 214 wartawan. Untuk sejarah yang lebih lengkap bisa dilihat di sejarah KOMPAS.

Selanjutnya diisi dengan sesi tanya jawab yang lebih menitikberatkan bagaimana memunculkan kiprah media kampus di ITB sendiri dengan sifat anak ITB yang sudah sedemikian tidak mau tahu atau bisa dibilang agak malas membaca informasi dari surat kabar atau majalah. Agus Her salah satu pembicara yang sudah agak tua namun sangat mengerti kondisi mahasiswa zaman sekarang banyak meberi masukan tersendiri. Ketika diutarakan kendala-kendala yang terjadi di unit media Ganesha memang menurutnya sudah tidak sesuai lagi dengan minat pasar saat ini. Sebagai contoh konten majalah kampus ini terlalu berat dan "mikir" padahal mungkin pada masa sekarang mahasiswanya tidak seperti masa orde baru yang tidak semudah sekarang mendapat informasi. Banyak saran dan masukan untuk merevisi bentukan dari majalah kampus yang dari 12000 mahasiswa hanya berani membuat oplah 1000. Itu pun tidak selalu laku semua padahal masa pengerjaannya cukup lama yaitu 4 bulan sekali dan itu pun hanya menghasilkan 40 halaman.
"Saya yakin model majalah kalian seperti majalah departemen," tutur pak Agus Her agak menyindir.
Sejujurnya dalam hati aku ingin bilang "Eta pisan,"


Penambahan rubrik baru yang fresh untuk kalangan mahasiswa masa kini bisa menjadi jalan keluar. Mode, gaya hidup atau apa pun itu bentuknya. Dalam setiap penyajian tidak hanya berita penting yang ditampilkan namun jugan berita menarik. Kecenderungan manusia yang dibaca paling awal adalah rubrik yang menarik perhatiannya entah itu olahraga atau pun nama dan peristiwa. Untuk itulah harus ada yang berubah. Kompas sebagai media cetak terkemuka pun pernah mengalami perubahan yang melenceng dari sejarahnya sendiri. Kompas dengan muka berwarna dan isu-isu enetrtainment adalah salah satu gebrakan besar yang sempat memberikan kontra bagi pembacanya. Namun begitulah Kompas melalui perubahan selera pasar. Tentu gebrakan itu tidak secara asal-asalan dilakukan melainkan melalui pertimbangan panjang dan survei/angket. Ya, survei itu sangat penting fungsinya itu menilai selera orang dari masa ke masa.

Sekarang pilihannya adalah Anda mau bertahan atau mau berubah? Alternative berubah banyak yaitu pemberian quis dan bonus hadiah, ilustrasi yang lebih indah dengan layout yang bukan seperti majalah kaku, jangan terlalu lama keluarnya karena kontinyuitas juga sangat berpengaruh terhadap selera, sebenarnya masih banyak lagi yang lainnya tinggal dipilih mana yang terbaik dan sesuai kebutuhan.
"Pilihlah, mau menjadi Majalah departemen atau menjadi majalah semua elemen masyarakat?"tantang pak Agus Her.

Selanjutnya kami diajak berkeliling di redaksi dimana ruang itu dibuat luas dan tak bersekat agar arus informasi dapat tersampai tanpa penghalang. Menarik melihat proses pembuatan layout dengan aplikasi GN3 dimana hanya Kompas yang punya itu. Pembuatan berita dan pengumpulan berita dari koresponden Kompas di seluruh Indonesia dan melihat proses penambahan foto yang ternyata bukan murni dari kompas melainkan berlangganan dengan suatu badan. Sangat jarang mereka memuat foto dari amatir namun kalau pun iya satu foto dihargai Rp 1.500.000,00 dan itu sama dengan bisa membayar kosan beberapa bulan. Wew..

Aku sempat bertanya dengan salah satu pemilih foto hari itu, "Pak, di Kompas sendiri ada standarisasi sensor foto engga? Soalnya saya pernah liat ada foto yang terbuka auratnya,"
"Tentu adalah, sini saya cariin contoh," lalu pria yang duduk di belakang layar itu pun mencari foto yang ia maksud. Beberapa folder yang ia cari tidak ketemu lalu kami pergi meninggalkan dia untuk ke tempat lain. Ketika sedang mengobrol dengan bagian lain tiba-tiba mas-mas yang di belakang layar itu datang dan menyerahkan foto yang tadi ia maksud. Aku sangat kagum sekaligus terkejut dengan sikapnya. Yang membuat aku terkejut lagi adalah sikap Kompas terhadap aurat wanita. Jadi di foto aslinya yang ia berikan ada seorang negro sedang loncat ke atas dengan dada terlihat menonjol. Seperti yang saya pernah lihat di majalah lain biasanya foto itu disensor dengan di beri bayang-bayang buram yang bagi aku sendiri hal itu malah melecehkan wanita karena memperjelas bagian apa itu yang disensor. Sedangkan Kompas ia mengedit fotonya sehingga terlihat bajunya dinaikan dan menutupi bagian itu. Awesome.
"Kalau foto Pangeran Williams dan Kate Middleton ciuman itu pernah dijadikan cover Kompas kan, Pak? Emang itu tidak apa-apa?"
"Itu sempat menuai protes si tapi kita kan pertimbangannya itu adalah ciuman suami isteri jadi bukan hal yang tabu dan patut di sensor kalau menurut saya,"
Waah, aku puas akan jawabannya.

Dengan berakhirnya pertanyaannku tadi maka berakhirlah kisah Jalan-jalan Media ke Kompas TV tahun ini. Semoga tahun depan aku bisa ikut lagi dan memperoleh banyak ilmu yang sangat bermanfaat itu tadi.
:)


Jalan-jalan Media #1

Posted by Sosiana Dwi On 12:34 am
Hari yang cerah ini Kamis, 16 Februari 2012 pukul enam kurang aku berangkat dari asrama ke kampus. Ada apa gerangan sepagi itu aku berangkat? 
Tidak seperti biasa aku yang sering telat ngampus bisa datang lebih pagi dari biasanya. Bukan untuk kuliah Fisdas yang sangat membosankan di GKU Barat lantai 3 namun untuk pergi ke Jakarta. Jadi hari itu setelah penundaan beberapa kali kami dari Unit media dan Biro Komunikasi Informasi KM-ITB akhirnya bisa juga datang mengunjungi salah satu media besar dan berpengaruh di Indonesia yaitu Kompas TV dan Kompas cetak.

Kompas TV
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2,5 jam dan personil yang ala kadarnya (karena terhalang hari kuliah) kami sampai juga di Gedung Kompas. Unit Boulevard, Persma, 8EH, Soul of Campus, Relasi Kominfo, admin twitter GaneshaLau datang dengan harapan besar (lebay). Namun sayang bus ITB tidak cukup muat diparkir di gerbang depan sehingga harus memutar jalan dan membutuhkan waktu lama yang membuat kami anak ITB menjadi ngaret. 

Sampai disana kami telah disambut oleh Nyoman Triyono yang berasal dari HRD manajer Kompas TV dan Alex Wibisono dari kepala peliputan yang masih muda. Dalam kata sambutan ia terlebih dahulu bertanya mengapa ITB memilih Kompas TV untuk dikunjungi, padahal TV itu baru berdiri sejak 9 September 2011 yang artinya masih terlalu muda.

Dalam pikiran saya juga mengandung pertanyaan yang sama, mengapa harus Kompas TV? Mengapa tidak Trans TV, RCTI atau mungkin Indosiar yang lebih banyak konten dari segi hiburan.
Sampai akhirnya manajer relasi Kominfo KM-ITB Davin Aristomo menjelaskan pemilihan Kompas TV bukan tanpa sebab. Meskipun TV yang masih seumur jagung namun ia mempunyai ciri yang berbeda dari stasiun TV yang ada saat ini. Dari segi pemberitaan Kompas TV tidak memihak manapun juga tidak seperti TV  One atau Metro TV dan mempunyai konten acara yang lebih mendidik bukan sinetron dan juga bukan pembodohan publik. Alasan lain adalah karena Kompas TV lebih mengangkat budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang tidak ditemukan pada stasiun TV swata komersil lain.

Karena berawal dari sebuah nama besar media cetak  Kompas, brand dari penyeber berita masih kuat dan memang itulah mereka. Dengan sebuah tagline Inspirasi Indonesia kru Kompas TV yang kebanyakan adalah pemuda-pemudi mencoba mengangkat semua Inspirasi yang bisa ditawarkan kepada khalayak. Agar kita tidak hanya dibuat pundung pada negeri sendiri dengan segala pemberitaan jelek tapi agar kita menjadi termotivasi pada apa yang bangsa telah lakukan. (prok prok)

Kompas TV  berbeda dalam banyak hal antara lain pemilihan host yang credible bukan host yang hanya menang komersil seperti Olga maupun Ruben Onsu, pelaksanaannya acara yang tidak membohongi seperti penggunaan suara lipsync maupun acara reality show yang di-skenarioi (memangnya Variety Show)? dan adanya TV berjaringan. 

Apa itu TV berjaringan? 
untuk mengkolaborasikan kearifan masyarakat daerah dan mencakup semua siaran lokal maka Kompas TV menggunakan sistem TV berjaringan. Jadi sistem ini semacam penyiaran daerah yang menginduk kepada Kompas TV seperti pada STV Bandung, Dewata TV, Borobudur TV dan lain-lain. Dalam tayangan TV lokal kadangkala ada berita nasional yang didapat dari Kompas TV, cirinya adalah munculnya kedua logo Televisi secara bersamaan dan itulah yang dinamakan TV berjaringan. Sedangkan untuk daerah lain yang tidak ada TV daerah yang menginduk pada Kompas TV maka hanya bisa menyaksikan Kompas TV di TV berlangganan berbayar. Dengan 70% siaran nasional, dan sisanya adalah siaran lokal selama 20 jam Kompas TV telah membuat beberapa pencapaian oleh televisi baru. Seperti halnya pernah menduduki rating tertinggi pada siaran beritanya dan sebuah pencapaian tertinggi pada bidang jurnalistik Indonesia yaitu peraihan Anugerah Adinegoro yang didapat dari sebuah acara bertajuk "Benang Merah". Program acara yang ditawarkan juga bervariasi antara lain entertain, knowledge, science, hingga edukasi. Sebagai "anak" dari Kompas koran mereka tetap eksis sebagai televisi berita.

Semakin semangat saja kami mendengar ulasan tentang sebuah koran yang berekspansi menjadi sebuah televisi. Memang pada awalnya semua orang harus mengalami perubahan agar makin tercapai tujuan tertentu. Target pemirsa Kompas TV adalah kelas menengah dimana pada setiap acara di seleksi agar kontennya tidak memuat hal yang buruk-buruk tentang negeri. Dengan semangat Objektif, Indepedent, Credible, dan netralitas Kompas TV siap menumbuhkan harapan Indonesia. 

Setelah muter-muter ke dalam studio berita, foto-foto dengan kekatroan kami, ke bagian produksi, dubbing dan diajari beberapa tools yang entah apa itu (karena kami ngga ada yang tau) sampai juga kami diberi tahu tentang tips meningkatkan brand awareness.  Antara lain adalah paham dan mengerti apa posisi kita di masyarakat, kampus dan mungkin bangsa dan negara dan tonjolkan point apa yang bisa ditonjolkan sebagai follow up dari itu semua.

Warna-warni Indonesia sebagai salah satu unsur dalam pemakaian lambang Kompas TV ini. 


......to be continued in part 2 of Jalan-jalan Media

Friday, 10 February 2012

Februari Gerimis #1

Posted by Sosiana Dwi On 11:13 am
#1
Terbang lah burungku meninggalkan kerangka-kerangka cahaya yang mengurung kepakan sayapmu.
Buanglah setiap sendumu di titik cahaya yang menyapu rindu.

#2
Jejak keputusasaan datang namun tetap langkah ada di tangan kita

#3
Ornamen dinding dan lampu salman yang kadang terlupa.

#4 
Lantai dua masjid Salman, 

#5
Bukan dibalik Bingkai

#6 
Saat melihat hujan kita bisa melihat keindahan

#7 

#8 

#9
Burung-Burung Kertas

  • Contact us

    Sosiana Dwi Architecture 2011 Bandung Institute of Technology