“Kusimpan rindu di hati
Gelisah tak menentu,
Berawal dari kita bertemu
Kau tak kan kulupa”
Sayup-sayup
kudengar...
Angkot hijau
Kalapa-Dago melaju membelah jalanan Dago dengan sedikit terhalang jalanan siang
ini. Tengok kiri kanan hanya kulihat mobil berhenti. Kaca mereka gelap tak
terlihat apakah mereka tersenyum atau kepanasan sepertiku juga. Sepertinya mereka
tidak, karena hembusan AC pasti segar membelai perjalanan mereka di bumi yang
kian panas ini.
Bandung, Kota
dataran tinggi yang dilingkupi sebuah cekungan besar gunung-gunung diantaranya
membuat kota ini harusnya dingin. Namun Bandung kini mulai panas dengan asap
kendaraan deru besi jalanan.
Lampu memerah untuk
kedua kalinya dalam jalanan yang sama dan sudah biasa jika dalam satu perjalanan
aku bisa menempuh 2 kali lampu merah. Seperti biasa kini dalam sudut angkot,
tempat favoritku mengamati jalanan.
“Ku ingin engkau mengerti
Betapa kau kucinta
Hanya padamu, kubersumpah
Kau akan ku jaga sampai mati”
Suara cadel nan lirih
membelah keramaian....
Di sela kantukku
ternyata memang terdengar sebuah lagu berdendang dengan frekuensi kecil. Suara lirih itu berasal dari bocah kecil tak
lebih dari dua tahun usianya. Pipinya memerah terbakar panas siang ini.
Wajahnya terlalu lucu untuk bernyanyi di jalanan siang-siang. Keceriaan dan
semangatnya yang hilang ataukah memang hak-haknya tertelan debu jalanan? Apakah
pula senyumnya kian pudar dalam tempias hujan April ini?
“Ku ingin tahu siapa namamu, dan ku ingin
tahu dimana rumahmu
Walau sampai akhir hayat ini,”
Entahlah, mataku
menuju padanya, bocah kecil itu. Ia menunggu di sudut pintu dengan tanpa gairah
kanak-kanak. Tinggi tubuhnya bahkan tak dapat mencapai ketinggian angkot ini
seolah dia memang tidak dapat mencapai realita dalam hidupnya yang diberikan. Tanpa
bisa bergerak dan menyiapkan ‘uang jajannya’, sekedar receh lima ratusan atau
seribuan aku hanya terdiam, termangu dan berpikir. Dalam hati aku tak mengerti
mengapa bocah sekecil dan selucu itu menggembala diantara roda jalanan kota
kembang. Dengan sebuah lagu yang aku yakin bahkan dia tidak mengerti artinya.
“Jalan hidup kita berbeda
Aku hanyalah punk rock jalanan
Yang tak punya harta berlimpah untuk dirimu
sayang”
Sumber : sentanaonline.com/public/images/news/gallery/0103112013.jpg
-----
Memang jalan
hidup kita berbeda ngger[1]. Ketika
aku kecil setidaknya aku bermain di lapangan yang luas dengan bola sepak dan
anak laki-laki yang berkejaran. Tidak dengan jalanan yang ramai, sempit,
berdebu, dan mobil motor yang berebutan. Tapi apakah keceriaan masa kecil kita
berbeda? Apakah senyum masa kecil kita berbeda? Apakah gelak tawa jalanan dan
lapangan berbeda? Apakah realita telah mengubah gemerlap sebuah kota menjadi
kesedihan bagi sang bocah?
Gadis kecil itu
pergi dengan tanpa sepeserpun receh di gelas bekas air mineralnya. Wajahnya
tidak muram, tidak pula senang. Kulihat penumpang yang lain sedikit tak acuh
akan kehadiran anak kecil itu. Begitu pula aku yang tertegun melihatnya,
melewatkan memberi sepeser uang untuk membelikannya es di siang-siang.
Gadis itu pasti
tidak tahu apa arti lagu yang ia nyanyikan. Bahkan apalah sebuah kata ‘arti’
pasti dia pun tidak mengerti. Realitanya kini jutaan anak Indonesia telah sama
persis seperti gadis kecil ini. Menyayikan sebuah lagu yang bahkan mereka tak
mengerti isinya. Ironisnya lagu-lagu yang mereka dengar tidak pantas untuk
dinyanyikan anak kecil. Dari yang bertema percintaan, sarkasme, hingga bertema
dewasa yang menyinggung sedikit ke pornoaksi.
Anak-anak itu
dipaksa pada realita bahwa mereka bukan orang berada dan mereka harus sedikit
berusaha. Lagu adalah hal termudah yang bisa digunakan sebagai cara mencari
uang. Dan karena lagu bukankah mereka pula tumbuh berkembang?
Bagiku sendiri
sebuah lagu akan mensuasanakan hati bagi si penyanyi itu sendiri. Saat kau
mendengar lagu Bunda pasti kau akan merasa kangen pada ibumu kan dan teringat
bagaimana ia merawat kita dari kecil hingga besar. Lagu juga sebagai motivasi,
seperti sekarang ini banyak bermunculan lagu patah hati dan tema galau lah yang
paling sering mendera jutaan muda-mudi zaman sekarang. Sebagai contoh lagu Punk
Rock jalanan yang dinyanyikan bocah kecil tersebut, lagunya bertema sedih dan
seperti nerimo ing pandum[2]
terhadap realita kehidupannya. Sehingga perkembangan mental si anak pun bisa
jadi akan menerima kehidupan dengan apa adanya. Ironisnya apa adanya mereka
tidaklah jauh berputar dalam hidup jalanan urban. “Mau dibawa kemana” seperti lagu Armada. Mau dibawa kemana nasib
anak Indonesia apabila mereka dibesarkan dengan kidung[3]
dan cerita jalanan yang lingkarannya berputar dalam satu jalanan yang sama yang
dilalui mereka setiap hari.
Anak-anak
merupakan masa tumbuh kembang paling ideal dengan tunas-tunas yang sangat reaktif
terhadap segala perubahan. Akankah anak-anak sekarang sudah mendengar keluh
kesah pesimisme kehidupan dunia yang akan dengan mudah melukai pikiran-pikiran
polos mereka. Baik anak jalanan maupun anak di seluruh pelosok Indonesia mereka
pantas mendapat pendidikan lewat lagu yang mereka bawakan. Sehingga optimisme
perubahan sebagai pupuk kedewasaan melekat karena tampuk kepemimpinan nantinya
akan ada pada generasi muda seperti halnya mereka.
Percayalah dalam
nada ada cerita, percaya juga dalam kepolosan mereka akan ada Einstein-Einstein
muda, J